Oleh: Paulus Winarto *

           

20170531_061756

The worst thing in life may contain seeds of the best. When you can see crisis as an opportunity, your life becomes not easier, but more satisfying.

– Joe Kogel

Sudah sekitar satu jam pesawat yang kami tumpangi hanya berputar-putar di atas kota Balikpapan, Kalimantan Timur. Cuaca yang sangat buruk tidak memungkinkan untuk dilakukan pendaratan. Dengan jelas, saya bisa melihat wajah-wajah penumpang yang penuh kegelisahan.

Seorang ibu yang duduk di sebelah saya sontak angkat bicara, “Bagaimana nasib saya ya Pak?”. Rupanya ia harus melanjutkan perjalanan dengan pesawat lainnya menuju Berau. Saya mencoba menenangkannya, “Kalau yang meng-connecting-kan pesawat masih maskapai penerbangan yang sama, tentu mereka akan bertanggung jawab untuk mengantarkan Ibu sampai ke Berau. Kemungkinan terburuk, Ibu akan disediakan penginapan dan baru besok bisa ke Berau.”

Ceritanya, pagi itu, Kamis 30 Maret 2017, Pesawat Lion Air yang kami tumpangi lepas landas dari Bandung pukul 09.45 WIB. Pesawat dengan Nomor Penerbangan JT 942 ini menuju Balikpapan dan diperkirakan akan mendarat pada pukul 12.45 WITA. Selama penerbangan, pesawat memang mengalami berkali-kali turbulensi.

Sekitar jam 12.30 WITA, pilot telah memberikan pengumuman bahwa waktu mendarat sudah dekat. Para pramugari pun dengan sigap memeriksa kondisi penumpang, termasuk memastikan sabuk pengaman telah terpasang, meja di depan kursi telah dilipat dan sandaran kursi ditegakkan.

Dari jendela pesawat terlihat mendung dan air hujan membasahi jendela. Tak lama berselang, pesawat kembali naik. “Para penumpang yang terhormat, di sini kapten Anda berbicara. Berhubung cuaca sangat buruk maka tidak dimungkinkan untuk dilakukan pendaratan. Oleh sebab itu, kita akan berputar-putar di atas kota Balikpapan selama kurang lebih 15 hingga 30 menit sambil menunggu cuaca membaik,” begitu kira-kira kata Pilot.

Ada pelajaran kepemimpinan sangat berharga di sini. Pilot sebagai pemimpin telah membaca situasi yang Anda. Ia berhasil mengenali situasi yang ada dan kemudian mengambil keputusan. Persis kata Max DuPree, “The first responsibility of a leader is to define reality.”

Sayangnya, setelah 50 menit menunggu cuaca tak kunjung membaik. Dengan nada bersahabat, Sang Pilot kembali memberikan pengumuman, “Kita masih terus menunggu cuaca membaik namun jika cuaca tidak kunjung membaik maka kita memiliki dua alternatif untuk melakukan pendaratan yaitu di Bandara Syamsudin Noor, Banjarmasin atau Bandara Sultan Hasanuddin, Makassar. Bapak/ Ibu diharapakan untuk tetap duduk tenang dan mengenakan sabuk pengaman Anda. Semuanya normal-normal saja. Terima kasih.”

Satu catatan menarik di sini yaitu ketika Sang Pilot mencoba menenangkan penumpang dan mengatakan semuanya baik-baik saja alias berjalan normal. Guru kepemimpinan, John C. Maxwell menuturkan, dalam keadaan krisis, seorang pemimpin sejati tidak tinggal diam di belakang meja atau sekadar mengirimkan memo. Sebaliknya ia justru harus hadir (show up).

Dengan kehadiran, seorang pemimpin akan memberikan rasa aman dan  percaya diri (security and confidence) kepada segenap anak buahnya. Hal ini hanya akan terjadi jika pemimpin …

  • Tahu apa yang sedang dilakukannya.
  • Memiliki sebuah rencana yang jelas.
  • Mengendalikan emosinya sehingga tetap tenang.
  • Menguatkan dirinya dengan terus berdoa.

Jika dalam keadaan krisis, sang pemimpin panik, bersikap reaktif, menyalahkan atau menunjukkan sikap-sikap negatif lainnya maka suasana akan menjadi semakin rumit. Sikap yang baik cepat menular namun sikap yang buruk akan jauh lebih cepat menular.

Sebagai pemimpin perjalanan siang itu, Sang Pilot dengan cermat tahu persis apa yang bisa ia ubah dan apa yang sama sekali tidak bisa ia ubah. Yang bisa ia ubah adalah arah perjalanan, sementara perubahan cuaca sepenuhnya adalah otoritas Sang Pencipta.  Sekitar pukul 13.45 WITA, Sang Pilot akhirnya memutuskan bahwa pesawat akan dialihkan pendaratannya di Makassar.

Pukul 14.40 WITA, kami mendarat di Makassar. Dalam percakapan dengan seorang pramugari, saya menangkap sinyal bahwa belum bisa dipastikan kapan pesawat akan kembali bertolak ke Balikpapan. Semula para penumpang tidak diperbolehkan turun, namun selang beberapa saat kemudian kami semua disuruh turun, melapor kepada petugas darat dan menunggu di Pintu 5.

Di sini mulai timbul sesuatu yang menggelisahkan para penumpang. Selain nasib kami yang serba tidak jelas, ternyata para penumpang sama sekai tidak diberikan konsumsi. Jangankan makanan, segelas air putih pun tidak. Lion Air memang dikenal sebagai maskapai penerbangan murah sehingga dalam perjalanan, penumpang tidak disuguhi makanan atau minuman gratis.

Jam makan siang yang telah lewat, mau tidak mau membuat “kampung tengah” mulai bereaksi. Saya dan seorang kawan lama yang bertemu di pesawat agak ragu-ragu apakah akan makan atau tidak. “Takutnya pas makan, kita dipanggil,” ujar saya. Benar saja, ketika suapan pertama Coto Makassar masuk mulut, panggilan untuk naik pesawat pun terdengar. Jadinya, kami makan dalam keadaan tergesa-gesa, hahaha…

Setelah antri di Pintu 5, tiba-tiba terdengar pengumuman bahwa kami harus naik melalui Pintu 4. Rombongan pun bergegas pindah pintu. Saat-saat seperti ini sungguh merupakan ujian bagi kesabaran. Secara pribadi saya salut dengan sikap pilot dengan mengutamakan keselamatan bersama, namun di sisi lain, saya kecewa dengan pelayanan petugas darat. Mereka gagal menunjukkan empati bagi para penumpang yang sedang berada dalam situasi tidak pasti.

Jam 16.20 WITA kami take off dari Bandara Sultan Hasanuddin dan pukul 17.15 WITA kami mendarat di Bandara Sepinggan, Balikpapan. Kami semua bersukacita dapat tiba dengan selamat. Memang ada 4,5 jam yang tertunda (dari jadwal awal mendarat jam 12.45 WITA) namun semua itu jika disikapi dengan bijak ternyata membawa banyak manfaat bagi mereka yang bersedia melihatnya dari perspektif yang berbeda. Bagaimana menurut Anda? ***

 

* Best Selling Author, Motivational Teacher, Leadership Trainer & Coach The John Maxwell Team. Klik www.pauluswinarto.com.