Oleh: Paulus Winarto *
Saya rindu menyelesaikan tugas besar dan mulia; tetapi tugas dan sukacita utama saya adalah menyelesaikan tugas sederhana seakan tugas itu besar dan mulia. Dunia terus berputar, bukan hanya karena dorongan kuat dari para pahlawannya, tetapi juga oleh kumpulan dorongan kecil dari setiap pekerja jujur.
– Helen Keller
“Dulu saya ingin jadi motivator nomor satu dunia, tetapi seiring perjalanan waktu, dari hasil doa yang terus-menerus dan masukan dari banyak orang, saya tahu itu bukan panggilan hidup saya. Kini, selain bekerja sebagai profesional di sebuah bank swasta, saya juga menyempatkan diri ke desa-desa untuk memberikan pelayanan kepada anak-anak muda yang sebagian sukanya berantem dan mabok,” kata seorang teman di Manado. Dari kegiatannya berbagai ilmu dan pengalaman yang dilakukan dengan tulus, ia semakin menemukan kebermaknaan hidupnya.
Sebagai seorang penulis buku yang kemudian “nyemplung” sebagai pembicara dan kerap dijuluki publik sebagai motivator, saya sendiri merasa, ada semacam salah kaprah mengenai istilah motivator. Tidak sedikit orang yang berpikir bahwa menjadi motivator adalah salah satu cara terbaik bahkan profesi untuk memberikan dampak positif bagi sesama. Logika berpikirnya sederhana, seorang motivator mampu menyemangati orang yang sedang mengalami kelelahan mental atau putus asa.
Secara pribadi, saya menganggap motivator bukanlah sebuah profesi. Motivator lebih sebagai sebuah peran. Orang tua yang menyemangati anaknya yang sedang latihan berjalan sebenarnya adalah motivator. Seorang sahabat yang hadir pada masa-masa sulit dan mengatakan hal-hal positif, itu pun motivator. Guru yang dengan ikhlas memberikan pelajaran tambahan kepada murid-muridnya agar lebih siap menghadapi ujian sesungguhnya telah menjadi motivator.
Pemimpin yang rela membagikan ilmu dan pengalaman kemudian melakukan pendelegasian pekerjaan sembari mengafirmasi anak buahnya bahwa ia yakin tugas tersebut bisa diselesaikan dengan baik, adalah motivator handal. Ia percaya kepada anak buahnya sebelum anak buahnya menunjukkan prestasi kerja. Bahkan, bisa jadi ia percaya kepada anak buahnya itu jauh sebelum anak buahnya tersebut percaya kepada dirinya sendiri. Hal ini tentu akan menaikkan rasa percaya diri serta motivasi dalam diri anak buahnya.
Saya kemudian teringat kisah seorang anak kecil bernama Tommy yang mengalami kesulitan besar dalam belajar di sekolah. Kerap kali, anak ini mengajukan berbagai pertanyaan dan tampaknya ia tidak dapat benar-benar mengikuti pelajaran di sekolah. Kegagalan tampaknya selalu berpihak kepada anak kecil ketika ia mencoba sesuatu.
Guru Tommy pun akhirnya menyerah dan mengatakan kepada Ibu Tommy bahwa Tommy tidak dapat belajar dengan baik dan tidak akan pernah berhasil dalam hidupnya. Apa yang kemudian terjadi? Ibu Tommy adalah motivator sejati. Ia percaya kepada putranya.
Dengan penuh kesabaran, Ibu Tommy mengajari Tommy di rumah dan setiap kali Tommy mengalami kegagalan, ibunya memberi harapan dan mendorongnya agar terus berusaha. Bertahun-tahun kemudian Tommy tumbuh menjadi seorang penemu yang hebat dan menerangi dunia. Ia memiliki lebih dari seribu hak paten, termasuk bola lampu pijar. Ya, Tommy adalah nama panggilan dari Thomas Alva Edison.
Empat Jenis Manusia
Dalam buku berjudul Winning With People, John C. Maxwell menjelaskan tentang Prinsip Elevator (the elevator principle) yang berbunyi, kita bisa mengangkat atau menjatuhkan orang lain dalam hubungan-hubungan kita (we can lift people up or take people down in our relationships). Lebih lanjut, guru kepemimpinan ini mengatakan ada empat jenis orang dalam hal hubungan dengan orang lain.
Yang pertama, beberapa orang yang menambahkan sesuatu dalam hidup – kita menikmati hubungan dengan mereka (some people add something to life – we enjoy them). Orang-orang seperti ini cenderung suka menolong orang lain. Mereka membuat hidup sesamanya menjadi lebih menyenangkan dan lebih dapat dinikmati. Mereka melakukannya dengan sengaja. Mereka menjadi teman. Singkatnya, orang-orang seperti ini ibarat faktor plus bagi orang lain (+).
Yang kedua, beberapa orang yang mengurangi sesuatu dari hidup – kita tolerir terhadap mereka (some people subtract something from life – we tolerate them). Orang-orang seperti ini cenderung memperberat beban hidup orang lain dan bukan ikut memikul atau meringankannya. Seringkali, hal ini dilakukan secara tidak sengaja. Itulah sebabnya Maxwell mengatakan, jika kita tahu bagaimana cara memberikan nilai tambah kepada sesama, bisa jadi kita sedang menguranginya secara tidak sengaja. Singkatnya, orang-orang seperti ini ibarat faktor minus bagi orang lain (-).
Yang ketiga, beberapa orang melipatgandakan sesuatu dalam hidup – kita menghargai mereka (some people multiply something in life – we value them). Orang-orang seperti ini memiliki niat, strategi dan ketrampilan untuk melipatgandakan sesuatu dalam diri orang lain, seperti mempertajam visi dan memaksimalkan potensi diri. Orang-orang ini memiliki hati yang mau melayani dan siap bermitra dengan orang lain untuk mencapai sesuatu yang lebih besar, yang tidak mampu dicapai orang lain seorang diri. Singkatnya, orang-orang seperti ini ibarat faktor kali bagi orang lain (x).
Yang keempat, beberapa orang membagi sesuatu dalam hidup (some people devide something in life – we avoid them). Orang-orang seperti ini biasanya menarik orang lain ke tingkat yang serendah-rendahnya. Mereka cenderung menghancurkan orang lain dengan sengaja. Mereka suka menyakiti. Yang sungguh memprihatinkan mereka kerap membuat diri menjadi lebih baik dengan cara membuat orang lain menjadi lebih buruk. Akibatnya, mereka merusak hubungan dan menciptakan kekacauan dalam hidup orang lain. Singkatnya, orang-orang seperti ini ibarat faktor bagi dalam hidup orang lain (/).
Aplikasi
Pertanyaan terpenting, bagaimana kita bisa menjadi pribadi yang berdampak bagi hidup orang lain? Barangkali ada beberapa cara sederhana yang bisa kita lakukan. Misalnya, secara sengaja, usahakan diri kita bisa menjadi faktor plus atau faktor kali bagi hidup orang lain. Ini semua bisa dimulai dari apa yang kita miliki. Kita bisa memulainya dari hal yang paling sederhana, seperti menyapa orang lain terlebih dahulu atau berbagai ilmu dan pengalaman. Selain itu, kita bisa mendayagunakan talenta kita untuk meringankan pekerjaan rekan kerja di kantor atau berkontribusi dalam sebuah kegiatan non-profit demi kemajuan organisasi.
Yang juga bisa kita lakukan adalah menjadi teladan. Ya, terutama menjadi teladan bagi setiap perubahan yang ingin kita lihat terjadi di masa mendatang. Persis seperti apa yang diungkapkan oleh Mahatma Gandhi, “Be the change you wish to see in the world.” Jika kita ingin melihat negeri ini bebas dari korupsi, kita sendiri harus bebas dari praktek korupsi terlebih dahulu.
Perkenanlah saya menutup jumpa kita kali ini dengan pesan dari Proklamator Bung Karno kepada generasi muda, “Hai pemuda-pemudi yang ada di sini, sekarang mengerjakan tugasmu, kerjakanlah pekerjaanmu itu sebaik-baiknya. Kerjakanlah sebaik-baiknya oleh karena apa yang kau kejar sekarang ini ialah ilmu dan ilmu itu bukan untukmu sendiri, tetapi ialah untuk anak-cucumu. Untuk bangsa Indonesia. Untuk rakyat Indonesia. Untuk tanah air Indonesia. Untuk negara Republik Indonesia. Maka, saudara-saudara dan anak-anakku sekalian, jikalau kita semuanya berkumpul di sini, kenangkanlah akan hal ini. Kenangkanlah, bahwa sebagaimana tadi kukatakan, pengorbanan-pengorbanan kita telah berat sekali. Laksana semua orang-orang bangsa Indonesia yang sekarang terkubur di taman-taman Pahlawan, semuanya menunggu-nunggu akan kedatanganmu kembali agar supaya kamu nanti dapat memberi sumbangan kepada pembangunan tanah air dan bangsa.” ***
* Best Selling Author, Motivational Teacher and Leadership Trainer. Klik www.pauluswinarto.com.