Oleh: Paulus Winarto*
Ada dua kompetisi terbesar dalam hidup ini. Pertama terjadi sebelum kita dilahirkan yakni pada saat proses pembuahan terjadi. Kita harus bersaing dengan ratusan juta sel sperma lainnya. Yang kedua, terjadi setelah kita lahir hingga kita menutup mata yakni kompetisi melawan diri sendiri dengan tujuan bertumbuh dan menjadi diri kita yang lebih baik.
Impian sekilas! Muncul dan menguap hanya dalam waktu sekejap. Dengan istilah yang paling kasar (maaf) seperti panas-panas tahi ayam. Itulah yang dialami oleh banyak sekali manusia di muka bumi ini pada saat momen pergantian tahun, termasuk diri saya dahulu.
Lihat saja kemeriahan malam pergantian tahun. Mulai dari pesta di mana-mana, kemacetan akibat begitu banyak kendaraan yang bersliweran di jalan raya maupun anak-anak muda yang sekedar nongkrong di pinggiran jalan raya, kembang api yang bertaburan menghiasi pekatnya malam, atau sekedar menghabiskan waktu bersama keluarga tercinta di rumah hingga doa-doa yang dipanjatkan di rumah-rumah ibadah di malam istimewa itu.
Oh, jangan salah sangka dulu, sahabatku. Saya bukanlah orang yang anti segala jenis perayaan itu, apalagi anti berdoa. Hanya saja ada satu hal yang saya lihat senantiasa terjadi dari waktu ke waktu di masa transisi pergantian tahun itu. Lihat saja, harapan-harapan baru dilontarkan (dalam bentuk resolusi tahun baru), komitmen-komitmen baru dibuat, impian-impian tahun mendatang disusun. Kerap kali semuanya itu disambut dengan penuh optimisme dan kegembiraan bagi yang bersangkutan maupun orang-orang terdekatnya, seperti keluarga maupun sahabat-sahabat.
Ungkapan-ungkapan itu misalnya: tahun depan saya mau diet agar tahun depan bisa turun berat badan 15 kilogram. Saya ingin lebih banyak waktu bersama keluarga. Buku pertama saya akan terbit paling lambat pertengahan tahun depan. Saya akan memulai bisnis saya tahun depan. Dan masih banyak kalimat-kalimat positif penuh semangat mewarnai keceriaan malam pergantian tahun itu.
Pertanyaannya, bagaimana setelah itu? Yang mau diet hanya bertahan beberapa minggu di bulan Januari setelah itu berat badannya justru makin bertambah. Yang ingin lebih dekat keluarga justru semakin sibuk, bahkan hampir setiap hari bawa pulang PR (pekerjaan rumah yang sebenarnya PKalias pekerjaan kantor) ke rumah. Yang mau menulis buku, tidak juga mulai-mulai. Yang ada hanyalah khayalan tentang judul buku yang akan ditulis. Yang akan terjun berbisnis tetap saja berkutat dengan rasa takut dan tidak bersedia mengambil risiko. Apanya yang salah? Rasanya hal ini tidak perlu ditanyakan kepada rumput yang bergoyang. Introspeksi diri dengan penuh kesungguhan dapat menjadi jawaban atas pertanyaan krusial tersebut.
Perkenankanlah saya berbagai sedikit pengalaman dengan Anda. Ada beberapa hal yang patut dicermati di sini. Yang pertama, berbagai harapan, komitmen maupun impian yang dilontarkan di malam pergantian tahun biasanya bukan sungguh berasal dari hati yang paling dalam. Bisa jadi itu hanyalah sebatas angan-angan. Ya, bagi saya angan-angan tidaklah lebih dari gambaran selintas mengenai masa depan yang lebih baik. Angan-angan bisa terbentuk kapan saja dan pemicunya bisa macam-macam. Misalnya ketika melihat teman A pengen ini-itu di tahun mendatang, kita kemudian merasa “tertodong” atau setidaknya biar kelihatan keren, kita pun ikut melontarkan angan-angan kita.
Kedua, bisa jadi angan-angan tersebut memang lahir dari hati yang paling dalam sehingga telah menjadi visi bagi hidup kita. Visi adalah gambaran mengenai masa depan yang lebih baik yang membangkitan gairah atau semangat dalam diri seseorang. Sayangnya ketika visi itu muncul tidak dibarengi dengan perencanaan yang matang sehingga visi itu pun layu sebelum berkembang.
Momentum Pergantian Tahun
Sungguh, malam pergantian tahun sebenarnya bisa kita gunakan sebagai momentum menuju tahun baru yang lebih baik. Sehingga kita bisa berkata, new year new me, new year new you! Bagaimana caranya? Berikut ada beberapa tips yang kiranya berguna.
Pertama, beberapa hari menjelang akhir tahun, sediakan waktu yang cukup untuk melakukan refleksi. Jangan katakan Anda tidak punya waktu. Hidup Anda dan saya begitu penting jadi sudah sepantasnya dirancang dengan baik. Bukankah sebuah bangunan yang kokoh, indah dan megah juga harus dirancang sedemikian rupa? Bukankah proses merancang itu juga memerlukan sejumlah waktu? Dan, bukankah hidup kita jauh lebih berharga dari bangunan sebagus, semewah, sekokoh atau seantik apapun yang ada di dunia ini?
Lakukan refleksi itu dengan kesungguhan. Barangkali bisa dimulai dengan doa. Mensyukuri apa yang telah kita alami, dapatkan bahkan yang tidak kita dapatkan di tahun yang akan segera berlalu ini. Syukurilah semuanya itu. Jangan tenggelam dalam rasa penyesalan berkepanjangan jika ada hal-hal yang masih mengganjal. Tidak seorang manusia pun yang mampu kembali ke masa lalu. Masa lalu telah menjadi bagian sejarah hidup kita.
Evaluasilah perjalanan hidup kita. Pelajaran-pelajaran penting apa saja yang telah kita petik sepanjang tahun ini? Dalam hal apa kita telah bertumbuh menjadi lebih baik dan dalam hal apa saja kita ingin lebih baik lagi di tahun mendatang? Terobosan-terobosan baru apa saja yang mau kita lakukan di tahun mendatang?
Proses refleksi ini kerap kali memunculkan berbagai angan-angan. Tidak ada yang salah dengan angan-angan. Namun angan-angan itu perlu diperjelas dan diprioritaskan, mana saja yang akan kita kejar di tahun depan.
Kedua, diskusikan impian atau harapan-harapan Anda itu dengan orang-orang terdekat kita. Misalnya, suami atau istri, anak-anak, orang tua, mentor, rekan kerja hingga sahabat-sahabat terdekat Anda. Tentu semuanya harus proporsional. Jika itu menyangkut pekerjaan, bicarakan itu dengan rekan kerja di kantor (atasan, rekan sederajat atau bawahan). Jika itu menyangkut kehidupan keluarga dan profesional, diskusikan itu dengan pasangan hidup.
Mengapa diskusi ini perlu? Bisa jadi mereka akan menjadi bagian pendukung kita dalam mewujudkan impian tersebut. Bisa jadi, mereka jugalah yang akan merasakan dampak langsung dari terwujudnya impian kita itu. Misalnya, seorang suami perlu berdiskusi dengan istri mengenai impiannya untuk merintis bisnis (alias keluar dari pekerjaan sekarang) atau merenovasi rumah. Dari diskusi-diskusi inilah biasanya kita akan semakin menyadari mana impian yang benar-benar penting bagi kita.
Jangan pernah lupakan fakta ini, rasa sayang kita kepada orang-orang terdekat (terutama keluarga) seringkali menjadi motivator paling hebat agar kita lebih maju dalam hidup ini. Beberapa tahun belakangan ini, saya menulis buku jauh lebih serius agar dapat menjadi warisan yang berharga bagi anak cucu saya nantinya.
Ketiga, buat perencanaan alias susun strategi. Pertimbangkan harga yang harus kita bayar dan apakah kita bersedia membayar harga tersebut. Misalnya bagi yang akan menurunkan berat badan, tentu harus mengurangi porsi makan, ganti menu makanan hingga berolahraga secara teratur. Bagi yang akan menulis buku, harus lebih giat dalam studi literatur, melakukan sejumlah wawancara yang diperlukan hingga meluangkan waktu untuk menulis.
Terkadang orang dengan begitu mudah berhenti di tengah jalan karena tidak lagi bersedia membayar harga yang ternyata lebih besar dari yang diprediksi sebelumnya. Hal ini bisa diantisipasi dengan melihat mengapa impian tersebut penting. Kita bernapas karena bernapas penting. Nah, galilah faktor-faktor penting yang bisa menjadi pemicu dan pemacu kita untuk meraih impian di tahun mendatang. Seperti sudah saya sebutkan di atas, rasa sayang yang tulus bisa menjadi motivator luar biasa bagi kita.
Saya kerap menggunakan tabel seperti di bawah ini:
Tahun |
Impian |
Mengapa Impian Tersebut Penting |
Strategi Untuk Mencapai Impian |
2010 |
1. 2. 3. 4. 5. |
Keempat, berjuang dan berdoa. Meski semua rencana telah disusun, kita toh tidak boleh melupakan satu faktor kunci penting yaitu doa. Ya, berjuang tanpa berdoa terkadang akan sangat melelahkan. Dalam perjuangan itu, tentulah kita juga tidak boleh kaku. Fleksibilitas akan menjadi hal yang sangat esensial di tengah proses perubahan ke arah lebih baik. Kadang kala kita memang harus mengganti metode. Kadang kala justru kita harus membiarkan sebuah impian berhenti di tengah jalan demi mencapai hal lain yang barangkali lebih baik. Kadang kala kita harus menempuh jalan balik (u turn).
Pada akhirnya, kita harus sadar, hidup inilah adalah pilihan dan tiap pilihan memiliki konsekuensi sendiri. Bahkan tidak memilih pun memiliki konsekuensi.
Selamat bertumbuh dan menjadi pribadi yang lebih baik agar hidup Anda dan saya dapat berguna bagi lebih banyak orang. Amin!
* Motivational Teacher dan Penulis Buku. Beralamat di www.pauluswinarto.com.