A mentor is a brain to pick, a shoulder to cry on and a kick in the seat of the pants.
– John Crosby
Wajah lugu nan polos itu kelihatan makin pucat. Dengan gugup, berkali-kali terucap kalimat yang sama, “Jangan saya, Pak. Yang lain saja!” Itulah pengalaman ketika saya pertama kali menugaskan staf baru di toko untuk pergi menyetor uang di bank. Memang, ia sama sekali tidak pernah melakukan transaksi dengan bank. Continue Reading »
He becometh poor that dealeth with a slack hand: but the hand of the diligent maketh rich.
–King Solomon
Ani, alumnus sebuah perguruan tinggi ternama di kota Bandung, sudah setahun bekerja pada sebuah perusahaan tekstil besar. Semula manager sumber daya manusia (SDM) perusahaan tersebut mengira Ani akan bekerja penuh antusiasme mengingat Ani adalah mahasiswa yang aktif dalam berbagai kegiatan kemahasiswaan semasa kuliah. Sayangnya, seiring perjalanan waktu, terlihat bahwa Ani cenderung pasif dalam bekerja. Ia termasuk tipe orang yang menunggu perintah dari atasan. Sama sekali tidak proaktif! Namun jika diawasi, ia akan bekerja dengan baik. Ada apa dengan Ani?
Hal yang dialami Ani bisa jadi juga berlangsung di perusahaan atau organisasi Anda. Tidak bisa kita pungkiri kalau karyawan yang proaktif sangat dibutuhkan. Selain meringankan pekerjaan atasan, karyawan yang proaktif juga memberikan kontribusi signifikan terhadap kemajuan perusahaan. Ia akan penuh ide-ide segar dan tidak takut untuk mencoba hal-hal baru.
Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan: tidak.
– The Son of Man
Baru-baru ini, seusai melakukan seminar non-profit untuk sebuah lembaga keagamaan dan memberikan training kepada sebuah bank swasta besar di Surabaya, kami sekeluarga pulang ke Bandung dengan menumpang pesawat Citilink.
Penerbangan yang diperkirakan akan ditempuh dalam waktu 1 jam 2 menit itu pada awal mula berlangsung sangat mulus. Cuaca yang cerah membuat kami yang duduk di dekat jendela dapat dengan mudah melihat langit yang biru dan gumpalan awan nan indah. Fenomena menarik semacam ini kerap membuat saya semakin mengagumi keagungan Sang Pencipta.
Tuhan yang memberi. Tuhan pula yang akan mengambil. Ajari kami Tuhan agar tetap percaya kalau kehendak-Mu adalah yang terbaik. Biarlah kehendak-Mu yang terjadi. Sekiranya Priscilla masih Engkau percayakan pada kami, maka kami akan mengasihinya tanpa syarat (unconditional love) dan akan mendidik dia sebaik-baiknya. Dia akan menjadi saksi kasih dan kemurahan hati-Mu di muka bumi ini. Namun bukan kehendak kami yang jadi. Kehendak-Mu-lah yang jadi. Terpujilah nama-Mu selamanya. Amin.
Doa sederhana dari hati yang tulus sebagaimana tertulis di atas adalah doa yang saya panjatkan berhari-hari lamanya menjelang operasi putri pertama kami, Priscilla Natali Winarto. Empat tahun kami menanti kehadiran seorang anak, dan ia lahir dalam keadaan prematur (34 minggu dengan berat badan 1,6 kg). Betapa kami sangat bersyukur dengan kelahirannya. Tidak hanya kami, begitu banyak saudara, sahabat, teman, dan kenalan yang bersukacita bersama kami. Saya masih ingat bagaimana saya kerepotan untuk membalas sekitar 700 pesan singkat (SMS) yang masuk ke handphone saya sampai-sampai handphone saya hang dan harus diinstall ulang. Alhasil semua datanya ikut hilang.
Sukacita atas kehadiran anggota baru di keluarga kami rupanya diiringi juga dengan ujian berat. Hari berganti hari, Priscilla masih dirawat di inkubator RS. Santo Borromeus Bandung. Dia diinfus dan setiap hari disuntik beberapa kali. Dokter mengdiagnosa ia terkena pneumonia. Syukur puji Tuhan, berkat pengobatan yang intensif, ia sembuh. Kami punya kerinduan sekaligus harapan Priscilla bisa segera pulang, paling tidak tanggal 20 Januari 2006 atau sebulan setelah ia lahir.
Namun Tuhan berkehendak lain, lagi-lagi kami mengalami ujian. Priscilla didiagnosa menderita kelainan saluran pembuluh darah di dekat jantungnya. Dalam dunia medis dikenal dengan istilah persistent ductus arteriousus (PDA) dan harus secepatnya dioperasi.
Ketika Priscilla berusia 37 hari, ia dilarikan dari RS. Santo Borromeus Bandung ke RS. Jantung Harapan Kita Jakarta dengan menggunakan ambulance. Ibu mertua dan istri saya, Maria Trifa Ermawati ikut dalam ambulance itu sedangkan saya, berserta ayah mertua serta seorang sahabat yang sudah seperti saudara mengikutinya dari belakang dengan kendaraan pribadi. Sambil menyetir mobil, saya terus berdoa dan berharap agar mukjizat terjadi atau ia bisa sembuh tanpa harus menjalani operasi. Kekhawatiran kemudian bercampur dengan ketakutan terus terbayang terutama saat kami mengingat dokter berkata, “Anak bapak terlalu kecil untuk dioperasi!”
Tapi, Tuhan berkehendak lain. Tanggal 30 Januari 2006 atau ketika ia berusia 41 hari ia harus menjalani operasi itu. Istri dan ibu mertua saya tak henti-hentinya meneteskan air mata ketika Priscilla dibawa masuk ke ruang operasi. Dokter Yusuf yang akan mengoperasi ketika berpapasan dengan kami sempat berkata, “Tolong dibantu dengan doa, pa.”
Dengan jujur saya harus mengakui bahwa baru 3 jam sebelum operasi pada hari itu, saya bisa merelakan Priscilla ke dalam tangan kasih Tuhan. Pada saat itu saya kuatkan iman saya kalau kehendak Tuhan adalah yang terbaik. Apapun yang terjadi nanti tentu baik di mata Tuhan. Saya teringat firman-Nya: Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan.
Tiga jam sebelum operasi berlangsung, saya berlutut dan menangis tersedu-sedu di kamar mandi di kamar kost (di belakang RS Harapan Kita). Saya kemudian larut dalam doa penuh haru, ”Tuhan, jika tiga jam lagi Engkau akan panggil anak ini, terjadilah kehendak-Mu… Terjadilah kehendak-Mu. Dan Tuhan, sekalipun tiga jam lagi Engkau akan memanggil anak yang aku sangat kasihi ini, aku tetap mau bersyukur… aku tetap mau bersyukur karena paling tidak, empat puluh satu hari aku pernah menjadi seorang ayah. Terima kasih untuk empat puluh satu hari itu Tuhan. Terima kasih Tuhan… Amin.” Ketika saya berdiri, hati saya sudah benar-benar plong. Saya sepenuhnya sadar kalau otoritas hidup dan mati seseorang ada di tangan Tuhan, bukan manusia.
Pada saat itu, saya tidak lagi ”ngotot” kalau Priscilla pasti sembuh sebab saya tidak bisa menebak-nebak rencana Tuhan. Lagipula, belum tentu Tuhan menghendaki ia sembuh. Kitab Suci mengingatkan saya akan hal tersebut, ”Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku. Seperti tingginya langit dari bumi, demikianlah tingginya jalan-Ku dari jalanmu dan rancangan-Ku dari rancanganmu.”
Satu yang saya tahu: kehendak Tuhan adalah yang terbaik meski itu belum tentu menyenangkan hati umat-Nya. Itulah sebabnya, saya pernah berbisik lembut di telinga Priscilla, ”Priscilla sayang, jika nanti Tuhan memanggilmu dalam proses operasi itu, ayah hanya bisa berkata, terima kasih Tuhan buat 41 hari bersamamu dan Priscilla sayang, sampai ketemu nanti di surga…”
Puji Tuhan, operasi berlangsung mulus meski setelah itu selama beberapa hari Priscilla kehilangan suaranya. Seminggu kemudian, dia sudah diperbolehkan pulang. Artinya, tepat 48 hari ia berada di rumah sakit sejak hari kelahirannya. Selamat tinggal infus dan jarum suntik yang mengerikan bagi bayi dengan berat hanya 2,1 kg dan masih sangat mungil itu. Saya makin mengimani kalau Tuhan punya rencana besar bagi hidup Priscilla dan keluarga kami.
Kisah mengenai ketaatan dan kepasrahan kepada kehendak Tuhan juga saya dapatkan dari seorang sahabat. Dua tahun sejak pernikahan, keluarga ini dikaruniai seorang putra. Kebahagiaan bercampur kesedihan karena sang putra tercinta ini kemudian dipanggil pulang oleh Yang Mahakuasa tepat 41 hari kemudian. Ia mengalami kelainan pada bagian otak. Meski semua upaya terbaik telah dilakukan (al: tekun berdoa, berpuasa, operasi dan perawatan di rumah sakit) namun Tuhan berkehendak lain. ”Jalan Tuhan memang tak terselami,” katanya.
Dalam sebuah e-mail, sang ayah memberikan kesaksian imannya, ”Dokter berkata tidak ada harapan karena anak kami sudah masuk kategori ’lost case’. Kata dokter semua hanya buang waktu dan uang. Tapi kami percaya mukjizat Tuhan masih ada dan kami katakan kepada dokter kami hanya menunggu Tuhan melakukan mukjizat. Akhirnya Tuhan melakukan kehendak-Nya dan menjawab doa kami dengan kata TIDAK untuk kesembuhan putra kami. Tuhan penuh kasih buat kami. Dia menopang kami sehingga kami dapat melalui hari-hari kami dalam sukacita, sabar dan terus berharap.”
Ya, hidup memang penuh suka-duka. Ada pasang. Ada surut. Ada orang yang sungguh mencari Tuhan namun tidak sedikit yang datang kepada-Nya bukan dengan motif untuk mencari Dia namun mencari berkat-Nya (al: kesembuhan, berkat finansial dan hal lain yang dikehendaki hatinya).
Seorang sahabat yang baru saja menjalani operasi kanker payudara mengatakan, ”Saya terus mencari Tuhan dan berharap kesembuhan dari-Nya namun saya tidak mau memaksa Tuhan. Saya mengimani kalau kehendak-Nya adalah yang terbaik meski terkadang sangat sulit untuk bisa menerima hal tersebut dan bersukacita dalam penderitaan.” Bagaimana menurut Anda? ***
* Paulus Winarto adalah pemegang 2 Rekor Indonesia dari Museum Rekor Indonesia (MURI) yakni sebagai pembicara seminar yang pertama kali berbicara dalam seminar di angkasa dan penulis buku yang pertama kali bukunya diluncurkan di angkasa. Sejumlah bukunya masuk dalam kategori best seller (al: First Step to be An Entrepreneur, Reach Your Maximum Potential, Be Strong, Melejit di Usia Muda dan The Power of HOPE). Ia banyak menimba ilmu kepemimpinan dari guru kepemimpinan internasional, Dr. John C Maxwell. Guru marketing Hermawan Kartajaya menjuluki Paulus sebagai “manusia kompleks”. Paulus dapat dihubungi melalui e-mail: pwinarto@cbn.net.id atau www.pauluswinarto.com.
4 Comments
Paulus Winarto adalah pemegang 2 Rekor dari Museum Rekor Indonesia (MURI) untuk seminar dan peluncuran buku di angkasa. Ia dikenal sebagai motivational teacher, trainer, pembicara seminar, dosen luar biasa (Universitas Parahyangan Bandung), dosen kepemimpinan (Sespim Polri), dan penulis sejumlah buku motivasi dan pengembangan diri best sellerSelengkapnya...
Leadership guru, John C. Maxwell and Paulus Winarto, talk about "The Power of Mentoring"