ANTARA YA DAN TIDAK

Oleh: Paulus Winarto*


Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan: tidak.

– The Son of Man

Baru-baru ini, seusai melakukan seminar non-profit untuk sebuah lembaga keagamaan dan memberikan training kepada sebuah bank swasta besar di Surabaya, kami sekeluarga pulang ke Bandung dengan menumpang pesawat Citilink.

Penerbangan yang diperkirakan akan ditempuh dalam waktu 1 jam 2 menit itu pada awal mula berlangsung sangat mulus. Cuaca yang cerah membuat kami yang duduk di dekat jendela dapat dengan mudah melihat langit yang biru dan gumpalan awan nan indah. Fenomena menarik semacam ini kerap membuat saya semakin mengagumi keagungan Sang Pencipta.

Namun keadaan mendadak berubah, separuh perjalanan berikutnya kami tempuh dalam cuaca yang kurang bersahabat. Langit tampak gelap dan goncangan-goncangan mulai terasa. Terdengar peringatan dari pramugari agar seluruh penumpang kembali menggunakan sabuk pengaman.

Dalam cuaca buruk seperti itu lagi-lagi saya semakin menyadari keterbatasan diri sebagai manusia dan betapa kita sangat bergantung pada Sang Pencipta. Siapa yang bisa mengendalikan cuaca? Doa dan penyerahan diri selalu menjadi hal terbaik dalam hidup, terlebih ketika dihadapkan pada situasi buruk.

Tidak lama berselang, pramugari mengumumkan bahwa pesawat akan segera mendarat di Bandar Udara Husein Sastranegara, Bandung. Menit demi menit terus berlalu dan tampak pesawat telah berputar-putar setidaknya 5 kali. Dari jendela tampak cuaca masih buruk. Pilot mengatakan, di daratan sedang terjadi hujan sangat lebat.

Di tengah ketidakpastian kapan persisnya pesawat akan mendarat, tiba-tiba terdengar suara pilot dari kokpit, ”Pelanggan yang terhormat. Di sini kapten Anda berbicara. Dikarenakan hujan yang sangat deras dan jarak pandang yang hanya 800 meter (minimal 1.000 meter agar dapat dilakukan pendaratan dengan baik, Red.), maka kita akan mendarat di Bandara Soekarno Hatta, Jakarta. Mohon maaf atas ketidaknyamanan ini. Terima kasih.”

Saat itu juga pesawat mulai mengambil posisi mengangkasa untuk melakukan pendaratan darurat di Jakarta. Puji Tuhan udara di Jakarta cerah dan kami bisa mendarat dengan baik. Setelah menunggu selama hampir dua jam dan mendapat kabar bahwa cuaca di Bandung sudah baik, kami diterbangkan dengan pesawat yang sama ke Bandung.

Pengalaman di atas menyimpan banyak pelajaran penting. Salah satunya adalah berani mengambil keputusan di tengah ketidakpastian. Pilot pesawat tersebut berdasarkan pertimbangan yang matang akhirnya memutuskan apa yang harus dilakukan. Jarak pandang yang tidak memungkinkan untuk dilakukan pendaratan serta cuaca yang buruk membuatnya saat itu juga harus menentukan langkah apa yang akan diambil, yaitu tidak mendarat di Bandung.

Sebenarnya dalam hidup ini, kita juga dapat mengibaratkan diri kita sebagai pilot atas kehidupan kita sendiri. Artinya, kitalah orang yang paling bertanggung jawab atas hidup dan masa depan kita. Situasi buruk dan pengalaman masa lalu yang begitu gelap bisa kita jadikan tempat belajar atau justru membelenggu hidup dan masa depan kita. Tidak sedikit orang yang menjalani hidupnya penuh dengan kepahitan karena masa lalu. Padahal masa depan tidak sama dengan masa lalu.

Kedewasaan diri seorang anak manusia juga dapat dilihat dari sikap untuk mengambil tanggung jawab atas hidupnya. Jika seseorang terbiasa menyalahkan situasi dan orang lain atas apa yang terjadi pada dirinya maka orang tersebut akan sulit sekali bertumbuh dewasa, meski usianya dari tahun ke tahun terus bertambah. Tidak berlebihan jika sebuah iklan mengatakan, ”Menjadi tua itu pasti, menjadi dewasa itu pilihan.”

Belum lama berselang, saya membaca sebuah pernyataan penting yang merupakan bagian dari kampanye anti-narkoba. Pernyataan yang ditulis pada sebuah voucher isi ulang itu berbunyi, ”What is popular is not always right and what is right is not always popular!” Wow, ini sebuah pernyataan sekaligus nasihat yang luar biasa.

Tidak sedikit anak muda yang terjerumus ke jalan yang salah karena mereka hanya ikut-ikutan: takut dikatakan ”ngga gaul” atau ”tidak solider dengan teman lain”. Jika mereka tidak kuasa untuk menolak akhirnya mereka ikut arus padahal mereka sering sadar bahwa hal tersebut akan merusak dirinya sendiri. Saya kemudian teringat kepada salah satu guru spiritual saya. Ia pernah berkata, ”Kalau orang lain berbuat salah, tidak mesti kamu juga harus ikut-ikutan berbuat salah!”

Itulah sebabnya, kemampuan untuk berkata ”TIDAK” mutlak diperlukan agar seseorang menjadi dewasa. Kita harus berani berkata ”tidak” kepada hal-hal yang tidak baik, kurang baik bahkan pada hal-hal yang baik agar kita kemudian bisa berkata ”ya” pada hal-hal yang terbaik.

Haruslah kita sadari kalau hidup ini penuh dengan serangkaian pilihan dan setiap pilihan punya konsekuensi tersendiri. Bahkan, tidak memilih pun punya konsekuensi. Jatuhkan senantiasa pilihan kita pada prinsip-prinsip yang kita anut. Alangkah baiknya jika prinsip-prinsip itu kita bangun berdasarkan nilai-nilai luhur. Dengan demikian, kita akan menjadi orang yang senantiasa berani mengambil keputusan dan bertanggung jawab atas setiap keputusan yang kita ambil. Semoga! ***

* Paulus Winarto adalah pemegang 2 Rekor Indonesia dari Museum Rekor Indonesia (MURI) yakni sebagai pembicara seminar yang pertama kali berbicara dalam seminar di angkasa dan penulis buku yang pertama kali bukunya diluncurkan di angkasa. Sejumlah bukunya masuk dalam kategori best seller (al: First Step to be An Entrepreneur, Reach Your Maximum Potential, Be Strong, Melejit di Usia Muda dan The Power of HOPE). Ia banyak menimba ilmu kepemimpinan dari guru kepemimpinan internasional, Dr. John C Maxwell. Guru marketing Hermawan Kartajaya menjuluki Paulus sebagai “manusia kompleks”. Paulus dapat dihubungi melalui e-mail: pwinarto@cbn.net.id atau www.pauluswinarto.com.