Menjadikan Anak Buah Proaktif
Oleh: Paulus Winarto*
He becometh poor that dealeth with a slack hand: but the hand of the diligent maketh rich.
– King Solomon
Ani, alumnus sebuah perguruan tinggi ternama di kota Bandung, sudah setahun bekerja pada sebuah perusahaan tekstil besar. Semula manager sumber daya manusia (SDM) perusahaan tersebut mengira Ani akan bekerja penuh antusiasme mengingat Ani adalah mahasiswa yang aktif dalam berbagai kegiatan kemahasiswaan semasa kuliah. Sayangnya, seiring perjalanan waktu, terlihat bahwa Ani cenderung pasif dalam bekerja. Ia termasuk tipe orang yang menunggu perintah dari atasan. Sama sekali tidak proaktif! Namun jika diawasi, ia akan bekerja dengan baik. Ada apa dengan Ani?
Hal yang dialami Ani bisa jadi juga berlangsung di perusahaan atau organisasi Anda. Tidak bisa kita pungkiri kalau karyawan yang proaktif sangat dibutuhkan. Selain meringankan pekerjaan atasan, karyawan yang proaktif juga memberikan kontribusi signifikan terhadap kemajuan perusahaan. Ia akan penuh ide-ide segar dan tidak takut untuk mencoba hal-hal baru.
Sayangnya, tidak mudah memperoleh karyawan yang proaktif. Untuk itu, saya ingin mengajak kita semua untuk menganalisa sebab-sebab karyawan cenderung pasif dalam bekerja. Menurut pengalaman dan pengamatan saya ada beberapa hal yang membuat karyawan cenderung menunggu perintah.
Pertama, karena pemimpin tidak memberi kesempatan kepada mereka untuk belajar dari kegagalan. Artinya, jika gagal langsung dicaci-maki, dikenakan hukuman dsb tanpa mencoba bersikap bijak melihat sebab-sebab di balik kegagalan tersebut. Akibatnya, staf akan merasa trauma dan bersikap cari aman saja (alias daripada nanti salah).
Kedua, bisa jadi mereka takut jika bertindak proaktif akan dianggap penjilat atau sok cari muka oleh sang pemimpin atau rekan kerja. Hal ini biasanya diperparah oleh komentar-komentar negatif oleh karyawan senior seperti, “Jangan sok tahu kamu. Kamu kan anak kemarin sore. Saya makan garam lebih banyak.” Jika sang karyawan tetap bertindak proaktif atau sekedar mengajukan ide-ide segar bagi kemajuan perusahaan, bisa jadi ia akan dijauhi atau dikucilkan.
Ketiga, tidak ada sistem reward & punishment yang jelas. Artinya yang rajin dan proaktif sama dengan yang malas dan pasif diberikan gaji, bonus, tunjangan, dsb dalam jumlah yang sama. Inilah yang kemudian membuat karyawan bersikap KSO (kerja sesuai ongkos) dan mengalami demotivasi dalam bekerja.
Keempat, lingkungan kerja yang tidak kondusif. Misalnya pemimpin cenderung suka mengadu-domba karyawan sehingga tim yang terbentuk hanya tim semu yang kompak kalau si pemimpinnya mengawasi langsung.
Kelima, barangkali si staf takut jika ia mengambil inisiatif dalam suatu bidang maka ia akan diberikan “beban” kerja tambahan padahal ia tidak memiliki kemampuan yang memadai untuk melakukannya (misalnya kurang di-training) atau ia tidak yakin akan didukung oleh rekan kerja lainnya.
Keenam, barangkali beban kerja rutin sangat padat sehingga waktu yang ada saja sudah terasa tidak cukup. Apalagi jika harus mengambil inisiatif untuk mengerjakan hal-hal baru.
Ketujuh, komunikasi yang macet antara pimpinan dan staf serta antara para staf sendiri. Hal ini ditunjukkan dengan tidak semua staf tahu apa gambaran besar (visi) yang ingin dicapai organisasi. Biasanya jika pemimpin berhasil mengkomunikasikan visi pada saat yang tepat dan visi itu diterima menjadi bagian integral dari staf (visi pemimpin menjadi visi staf juga) maka itu akan jadi momentum sehingga inisiatif lebih mudah muncul. Bagaimana pun orang akan senang jika ia memiliki kontribusi yang signifikan terhadap upaya pencapaian sebuah visi.
Kedelapan, bisa jadi si staf takut dicap orang aneh atau konyol jika menyampaikan idenya, apalagi melakukanya. Kesembilan, mungkin pengalaman kerja masa lampau masih menghantui mereka. Misalnya ketika si A bekerja di sebuah perusahaan, ia sangat proaktif dan penuh ide-ide segar. Sayangnya si pemimpinnya insecure –takut stafnya lebih maju dan kemudian bisa menggesernya- sehingga selalu berusaha menekan si staf. Kesepuluh, barangkali staf bekerja pada bidang yang tidak disukai atau tidak begitu dikuasainya. Orang biasanya lebih berinisiatif dalam bidang yang disukai dan dikuasainya.
Dari sebab-sebab di atas, saya menganjurkan beberapa solusi praktis yang juga pernah saya terapkan agar karyawan lebih proaktif dalam bekerja.
Pertama, pemimpin harus berusaha keras untuk membina hubungan baik dengan stafnya. Ini adalah tugas pemimpin. Seperti lokomotif yang mencari gerbong dan bukan sebaliknya! Para staf harus bisa melihat hati si pemimpin secara transparan dan merasakan bahwa pemimpin peduli dan ingin mereka lebih maju. Dengan demikian, mereka akan lebih tulus dalam membantu pemimpinnya. Ingat, dalam berhubungan dengan orang lain, faktor hati lebih penting daripada rasio. Bukankah kita tidak akan mengikuti seseorang jika kita tidak menyukainya? Seorang pemimpin hanya akan sukses jika orang-orang di sekelilingnya menginginkan ia sukses.
Kedua, pemimpin harus mengkomunikasikan secara jelas visi atau impian yang ingin diraih perusahaan dalam 1 tahun hingga 10 tahun ke depan. Orang akan sulit berkontribusi jika mereka tidak tahu ke mana mereka akan dibawa. Si pemimpin juga harus menegaskan bahwa demi tercapai visi tersebut ia sangat memerlukan saran, ide dan masukan dari para stafnya. Jika orang dilibatkan, mereka akan merasa memiliki dan lebih berkomitmen.
Ketiga, ciptakan iklim keterbukaan dan pererat rasa kebersamaan dalam organisasi. Salah satunya lewat acara-acara informal, misalnya piknik bersama atau sekedar makan siang bersama. Jangan lupa untuk merayakan kesuksesan-kesuksesan kecil secara bersama-sama sehingga para staf merasa dirinya berarti bagi organisasi.
Keempat, tempatkan staf pada tempat yang tepat sesuai bidang kompetensi atau bidang yang disukainya (right man in the right place). Bagaimana kita tahu bidang tersebut? Bisa dengan sejumlah tes, termasuk psikotest, tes wawancara atau diskusi informal pada waktu informal juga. Belum tentu latar belakang pendidikan formal merupakan bidang kompetensi atau bidang yang disukainya. Kuncinya di sini adalah komunikasi yang jujur dari hati ke hati.
Kelima, ciptakan sistem reward and punishment. Yang berprestasi harus diberikan penghargaan dan yang salah harus dihukum secara bijaksana (dengan mempertimbangkan alasan, dsb). Reward tidak selalu dalam bentuk uang. Sebuah tepukan di pundak atau pujian di depan umum terkadang jauh lebih berarti daripada bonus rupiah.
Keenam, lakukan pendelegasian sambil terus mengembangkan kompetensi staf. Berikan mereka otoritas dalam batas-batas yang jelas sehingga tidak semua keputusan harus diambil oleh pemimpin tertinggi. Seimbangkan antara otoritas dan tanggung jawab. Kemudian, jangan lupa untuk terus memperlengkapi atau mentraining mereka sehingga mereka senantiasa bertumbuh ke arah yang lebih baik. Semoga bisa cukup membantu. ***
* Paulus Winarto adalah pemegang 2 Rekor Indonesia dari Museum Rekor Indonesia (MURI) yakni sebagai pembicara seminar yang pertama kali berbicara dalam seminar di angkasa dan penulis buku yang pertama kali bukunya diluncurkan di angkasa. Sejumlah bukunya masuk dalam kategori best seller (al: First Step to be An Entrepreneur, Reach Your Maximum Potential, Be Strong, Melejit di Usia Muda dan The Power of HOPE). Ia banyak menimba ilmu kepemimpinan dari guru kepemimpinan internasional, Dr. John C Maxwell. Guru marketing Hermawan Kartajaya menjuluki Paulus sebagai “manusia kompleks”. Paulus dapat dihubungi melalui e-mail: pwinarto@cbn.net.id atau www.pauluswinarto.com.