BORN TO WIN

Oleh: Paulus Winarto*


You were born to be a winner, but to be a winner you must plan to win and prepare to win.

– Zig Ziglar

Malam itu (Rabu, 27 Mei 2009) menjadi malam yang berkesan bagi saya sebagai seorang ayah. Ketika sedang berada di depan komputer untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan, putra saya, Timothy yang baru berusia 13 bulan masuk. Seperti biasa dia menyapa dengan kata-kata yang belum sempurna, “Pa..pa…”

Saya pun segera mengambil dan memangku putra kesayangan saya itu yang saat ini sedang dalam tahap belajar berjalan. Sebagai seorang penulis, ruang kerja saya penuh buku dan berantakan. Beberapa buku bahkan tergeletak begitu saja di samping keyboard komputer yang saya pakai untuk mengetik artikel ini.

Seperti biasa, dengan matanya yang jeli bagaikan mata rajawali, Timo segera mengambil salah satu buku yang tergeletak itu. Buku yang diambilnya kali ini adalah buku Born To Win (Promod Batra), sebuah buku motivasi yang sangat bagus dan mudah dicerna. Sesaat kemudian ia tampak membolak-balik halaman buku tersebut.

Khawatir buku tersebut rusak disobek (meski ia tentu saja tidak bermaksud demikian) saya kemudian mengambilnya kembali. Seketika itu juga, ia meronta-ronta dan menangis kencang. Saya kemudian menggantinya dengan barang lain. Mulai dari kertas, amplop, kotak DVD hingga buku lainnya, tetap ia tidak mau. Alhasil saya memberikan kembali buku Born to Win tersebut kepadanya.

Kemudian, saya membawa dia ke dapur menemui istri saya. “Ma, lihat anak kita. Born to win!” Istri saya cuma tersenyum. Tidak lama kemudian, Timo tampak ngantuk berat. Saya mengantarnya ke kamar dan istri saya menyusul. Masih dengan buku Born to Win di tangannya, sesaat kemudian ia pun tertidur lelap.

Peristiwa sederhana ini kemudian saya renungkan lebih jauh, terutama kalimat yang menjadi judul buku tersebut: Born to Win. Sebagai seorang manusia, saya percaya bahwa semua anak yang lahir ke dunia ini dilahirkan dengan potensi sebagai pemenang. Ini adalah kepercayaan saya pribadi. Mengapa saya sangat percaya hal tersebut? Ada dua alasan utama.

Yang pertama, kelahiran adalah sebuah proses kemenangan. Ya, sebuah proses kemenangan yang diawali dengan pembuahan yang merupakan kompetisi paling bebas yang pernah ada. Bayangkan satu sel sperma harus bertanding melawan setidaknya 100 hingga 700 juta sel sperma lainnya. Ini adalah kompetisi terbebas, terhebat, terdashyat yang pernah terjadi dalam hidup setiap manusia dan tidak akan pernah terulang lagi di kemudian hari. Bayangkan satu melawan setidaknya 100 juta. Itu ibarat seorang pria harus bersaing dengan 100 juta pria lainnya untuk merebut hati seorang wanita! Tentu sebuah proses yang sangat sangat sangat tidak mudah!

Setelah itu, janin harus bertumbuh. Sayangnya terkadang karena proses alam, sang janin bisa meninggal dalam kandungan. Kasus hampir serupa pernah kami alami. Di penghujung 2008 lalu istri saya mengalami blighted ovum, yaitu kasus di mana seorang wanita hamil, ada kantung kehamilan namun tidak ada janinnya. Diagnosa dokter mengatakan, “Bisa jadi sperma atau sel telurnya kurang bagus dan karena seleksi alam, dia tidak jadi.”

Yang kedua, saya menyakini setiap bayi yang lahir ke dunia lahir dengan potensi sebagai pemenang karena manusia diciptakan seturut citra Sang Pencipta. Otomatis dalam DNA setiap bayi ada sifat-sifat Tuhan seperti kasih sayang, sabar, tekun, dan seterusnya. Bukankah itu adalah sifat-sifat pemenang?

Meski demikian, terkadang potensi sebagai pemenang hanya tinggal potensi. Ibarat kapal yang hanya berlabuh di pelabuhan dan tidak pernah berlayar sehingga fungsinya menjadi tidak kelihatan, mubazir dan sia-sia. Mengapa bisa begitu? Sahabat saya yang juga penulis buku Adi W. Gunawan berkata, salah satu faktornya adalah pengkondisian.

Ya, pengkondisian. Pengkondisian macam apa? Pengkondisian negatif yang dilakukan oleh orang-orang terdekat yang seharusnya membantu potensi itu melejit ke permukaan. Orang-orang terdekat itu bisa orang tua, saudara, kakek-nenek hingga guru di sekolah.

Bentuk-bentuk pengkondisiaan ini macam-macam, mulai dari yang paling halus hingga yang paling kasar. Misalnya, pelabelan pada anak (misalnya anak dicap bodoh, anak sial, dsb), larangan ini-itu yang kemudian membelenggu kreativitas anak hingga penyiksaan fisik jika anak berbuat salah atau tidak sesuai dengan harapan orang tua.

Saya jadi teringat pernyataan sahabat dan juga guru kreativitas saya, Mr. Joger (yang juga pengusaha kaos terkenal di Bali). “Anak-anak harus nakal tapi tidak boleh jahat,” katanya. Memang jika dicermati lebih jauh ada perbedaan besar antara nakal (kreatif) dan jahat (menyakiti atau merugikan orang lain).

Memang sangat tidak mudah menjadi orang tua dan juga guru yang baik. Untuk hal yang satu ini, saya masih terus belajar sungguh-sungguh. Saya pun teringat lagu Withney Houston, The Greatest Love of All, berikut kutipan syairnya.

I believe the children are our are future
Teach them well and let them lead the way
Show them all the beauty they possess inside
Give them a sense of pride to make it easier
Let the children’s laughter remind us how we used to be …

Ya, dalam setiap diri anak ada potensi pemenang yang dalam bahasa Withney Houston di sebut keindahan dalam diri setiap anak.

Pikiran saya kemudian membawa saya kembali kepada sebuah film animasi yang beredar bertahun-tahun silam, A Bug’s Life. Dalam film tersebut ada dialog antara semut dewasa bernama Flik yang sering dituduh sebagai pembuat onar (trouble maker) dengan semut putri kerajaan yang masih kecil bernama Dot.

Keduanya sama-sama merasa dirinya tidak berharga. Yang besar merasa tidak pernah dihargai sementara yang kecil merasa minder karena masih terlalu kecil dan belum bisa terbang.

Mendadak semut dewasa ini menjadi bijaksana. Ia mengambil sebuah batu kecil dan berkata sambil menunjuk pohon besar, “Kecil bukanlah sesuatu yang buruk. Anggaplah batu kecil ini sebagai benih. Dan lihatlah pohon besar itu. Gunakan imajinasimu. Pohon besar itu sesungguhnya sudah ada dalam benih yang kecil ini. Namun ia membutuhkan waktu, air, dan sinar matahari untuk bisa menjadi besar. Mungkin sekarang kamu berpikir banyak hal yang belum bisa kamu lakukan. Itu karena kamu masih berupa benih. Besabarlah. Berilah waktu bagi dirimu. Saat ini kamu masih seperti sebuah benih.”

Wow, sebuah pernyataan yang sungguh benar. Pertanyaannya sekarang, sudah kita menjadi air, hujan atau sinar matahari yang membantu orang-orang di sekitar kita (terutama anak-anak kita) agar mereka bisa tumbuh dari sebuah benih menjadi pohon yang berbuah lebat? ***

* Paulus Winarto adalah pemegang 2 Rekor Indonesia dari Museum Rekor Indonesia (MURI) yakni sebagai pembicara seminar yang pertama kali berbicara dalam seminar di angkasa dan penulis buku yang pertama kali bukunya diluncurkan di angkasa. Sejumlah bukunya masuk dalam kategori best seller (al: First Step to be An Entrepreneur, Reach Your Maximum Potential, Be Strong, Melejit di Usia Muda dan The Power of HOPE). Ia banyak menimba ilmu kepemimpinan dari guru kepemimpinan internasional, Dr. John C Maxwell. Guru marketing Hermawan Kartajaya menjuluki Paulus sebagai “manusia kompleks”. Paulus dapat dihubungi melalui e-mail: pwinarto@cbn.net.id atau www.pauluswinarto.com.