Seorang kawan pernah bercerita kepada saya tentang orang buta yang mensyukuri kebutaannya. Konon di negeri antah – berantah hidup seorang raja bengis dan kanibal. Ia suka sekali memakan daging manusia. Namun ketika orang buta dibawa ke hadapannya, Sang Raja malah murka. “Aku tidak mau makan daging orang buta ini. Dagingnya pasti pahit karena ia tidak sempurna. Bebaskan dia!” kata Sang Raja. Sejak saat itu, si buta bersyukur bukan kepalang.
Cerita hampir sama yang sering sekali diceritakan oleh para pemimpin agama adalah tentang seorang anak kecil yang merengek minta sepatu baru menjelang hari raya. Sampai suatu siang, ia melihat orang yang tak berkaki dan tak bertangan. Sejak detik itu, ia mensyukuri keadaannya.
Seorang kawan pernah menasihati saya agar senantiasa bersyukur atas apa yang kita alami dan miliki saat ini. Bahkan semua pengalaman pahit pun harus kita syukuri. Saya baru benar – benar memahami itu sekarang. Ketika duduk di bangku kelas II SMA, usaha orang tua saya di Irian Jaya bangkrut total sehingga dengan susah payah saya harus cari akal agar bisa meneruskan hidup tanpa bergantung pada siapa pun. Ibarat pepatah, sudah jatuh ditimpa tangga pula, saya sempat mengalami sakit serius pada tulang belakang yang hampir saja membuatku bunuh diri.
Semula, saya sempat marah kepada Tuhan. Namun sekarang saya bersyukur karena pengalaman pahit tersebut. Tanpa peristiwa itu tidaklah mungkin saya jadi wartawan sehingga bisa belajar menulis berita dengan lebih baik. Tidaklah mungkin tulisan ini bisa sampai ke tangan Anda. Semua peristiwa tentu ada hikmahnya jika kita bisa melihatnya dengan mata hati.
Bersyukur juga bermakna bisa menikmati saat ini. “Terkadang kita baru merasa kehilangan setelah semuanya itu berlalu,” demikian nasihat seorang kawan saya. Ya, benar sekali! Sama seperti saya merasa kehilangan pada saat mengetahui kakek saya tercinta meninggal di tanah Papua sana sebelum saya sempat membalas kebaikan hatinya.
Yang lebih menyedihkan, pada saat ia berpulang, saya tidak sempat menghadiri pemakamannya untuk memberikan penghormatan terakhir karena tidak punya uang untuk membeli tiket. Saya hanya bisa berdoa dari Bandung sini. Tapi saya yakin, Tuhan mendengar doa saya dan saya yakin pula kalau kakek (dan juga nenek yang telah berpulang lebih dulu) kini telah hidup bahagia selamanya bersama Sang Pengasih dan Penyayang. Sampai berjumpa nanti, kakek dan nenek tercinta.
Dikutip dari buku KETIKA IA MENYAPAKU, Paulus Winarto, Obor. Informasi lebih lanjut, klik www.pauluswinarto.com