Sewaktu duduk di bangku SMP, adik saya pernah berkata pada ayah saya sesuatu yang maknanya amat dalam. “Bapa, bagaimana kalau para tikus itu juga berdoa agar toko kita ini selalu ramai supaya mereka bisa memperoleh makanan setiap harinya di sini?” katanya sambil bertanya.
Pertanyaan itu dilontarkan menanggapi kegiatan kami memerangi tikus yang amat banyak di toko kami. Ya, tikusnya ada yang gede – gede kayak kelinci. Terkadang kalau ketahuan sedang “mencuri” biskuit, mereka malu dan lari terbirit – birit. Beda dengan kita manusia yang kalau sudah ketahuan korupsi, pura – pura tak berdosa. Dan ketika akan diperiksa, mendadak “sakit”.
Hal yang kurang lebih sama pernah diutarakan teman saya. “Konon kucing selalu berdoa agar majikannya kaya agar ia bisa tidur di atas kasur yang empuk dan mewah bersama sang majikan suatu saat nanti,” begitu ujarnya.
Cerita – cerita sederhana di atas bisa memberikan pelajaran buat kita. Kita jadi belajar dari apa yang sering disebut sebagai “universitas kehidupan”, termasuk kehidupan binatang.
Saya sendiri sempat mengalami kebingungan luar biasa tentang apa itu berdoa. Haruskah doa dilakukan di tempat yang betul – betul sunyi? Bukankah Tuhan Maha Tahu, jadi buat apa kita berdoa kalau Ia sudah tahu apa yang akan kita katakan?
Akhirnya saya pun menemukan jawabnya. Doa adalah bentuk komunikasi personal dan paling intim dengan Sang Maha Kasih dan Maha Sayang. Doa juga bisa menjadi semacam tempat kita mencurahkan rasa syukur dan uneg – uneg kita kepada-Nya. Istilah anak muda sekarang curhat (curahan hati). Doa membantu kita makin mengenal siapa diri kita.
Bentuk ibadah yang baik tentu mengandung doa. Dan, doa yang baik tak sekadar komat – kamit kayak Pak Dukun palsu. Kalau komat – kamit maka doa hanya akan sampai di plafon atau paling banter nyangkut di genteng. Kasihan! Mari kita berdoa, yuk. Dan, semoga Ia pun mendengarkan dan mengabulkan doa kita. Amin.
Dikutip dari buku KETIKA IA MENYAPAKU, Paulus Winarto, Obor. Informasi lebih lanjut, klik www.pauluswinarto.com