Oleh: Paulus Winarto*
Siapa lekas naik darah, berlaku bodoh, tetapi orang yang bijaksana, bersabar.
– King Solomon
Siapa bilang anak tidak bisa menjadi guru bagi orang tuanya? Sebagai ayah dari dua anak (Priscilla dan Timothy) saya merasakan ada banyak hal yang bisa saya pelajari dari anak saya. Salah satunya yang terpenting adalah soal kesabaran.
Kisah begini, saat kami melakukan perjalanan bersama sekalian menikmati waktu libur sekolah anak pada awal bulan Juli 2010 lalu, anak pertama kami, Priscilla Natali Winarto yang Desember 2010 nanti memasuki usia 5 tahun sempat “curhat” kepada istri saya.
Sore itu, saya sedang memberikan seminar di sebuah gereja di Semarang. Istri dan kedua anak saya tinggal di kamar hotel di daerah Simpang Lima. Tiba-tiba, Priscilla berkata, “Kenapa sih papa kalau marah suka teriak-teriak? Padahal dikasih tahu saja kan bisa.”
Malam itu, ketika saya kembali ke hotel, anak-anak sudah pada tidur. Ketika istri saya menyampaikan cerita itu, saya sangat tersentuh. Memang saya akui, terkadang saya bisa sangat marah jika anak-anak bersikap “nakal”, terutama jika saya sedang sibuk menulis atau mengerjakan aktivitas lain di rumah. Rasa jengkel itu terkadang memuncak terutama jika saya berada dalam keadaan sangat lelah setelah melakukan perjalanan jauh atau tugas luar kota.
Meski begitu, saya berusaha semaksimal mungkin untuk tidak memukuli anak atau melakukan kekerasan fisik. Terus terang, sebagai seorang ayah, saya pernah sekali menampar Priscilla. Saat itu, saya benar-benar tidak bisa mengendalikan diri setelah melihatnya hidung adiknya berdarah akibat jatuh cukup keras didorong Priscilla. Peristiwa itu sungguh membuat saya merasa bersalah hingga beberapa bulan kemudian meski saya telah meminta maaf kepada Priscilla.
Priscilla memang anak yang sangat perasa. Terkadang kalau saya berbicara dengan nada yang sedikit tinggi saja, ia bisa sangat tersinggung dan mendiamkan saya selama beberapa jam. Seringkali pada saat-saat seperti itu saya teringat tentang bagaimana saya dan istri berjuang demi mendapatkannya. Priscilla hadir setelah empat tahun pernikahan kami dengan cara yang sangat dramatis. Terlahir prematur 8 bulan (berat hanya 1,6 kilogram) dan sempat menjalani operasi jantung pada saat berusia 41 hari dengan berat 2,1 kilogram.
Kembali ke pernyataan atau “curhat” Priscilla, maka pada tengah malam itu, saya berdoa, “Tuhan ajarkan aku untuk bisa lebih sabar dalam menghadapi anak-anakku. Aku berjanji, besok tidak akan marah.”
Doa sederhana itu rupanya mengubah hidup saya. Keesokan harinya saya sama sekali tidak marah meski ada perilaku anak-anak saya yang barangkali bisa dibilang “jahil” atau “nakal”, terutama jika Priscilla sedang berkelahi dengan adiknya, Timothy. Saya juga meminta maaf kepada anak-anak saya dan berjanji akan berusaha untuk lebih sabar.
Hari demi hari berlalu dan saat artikel ini ditulis, rasanya sudah dua minggu saya mengalami perubahan cukup fundamental soal kesabaran terhadap anak-anak. Kini, setiap kali anak-anak marah dan berteriak (karena meniru perilaku saya dulu), justru saya yang sering mengingatkan, “Kenapa sih harus teriak-teriak padahal dikasih tahu saja kan bisa.” Terkadang justru Priscilla yang jadi malu dan kemudian tersenyum.
Menjadi orang tua memang bukan hal yang mudah tetapi sekaligus sebuah kehormatan, kebanggaan sekaligus tanda kepercayaan dari Tuhan. Anak-anak sebagai anugerah yang amat berharga dipercayakan kepada kita sebagai orang tua untuk mendidik dan membesarkannya.
Saya pernah berkata kepada seorang teman yang emosional, “Kamu akan belajar banyak tentang kesabaran jika suatu hari nanti kamu punya anak.” Pernyataan itu sungguh benar. Ya, belajar sabar agar kita bisa …
- Memahami pola pikir anak.
- Menerima anak apa adanya.
- Mencintai anak apa adanya.
- Lebih matang dalam hidup.
Terima kasih anak-anakku.
* Best Selling Author, Motivational Teacher and Leadership Trainer. Click www.pauluswinarto.com.