THE BEST OF ME (02)

Oleh: Paulus Winarto*

best-you

Pada bagian sebelumnya saya telah menguraikan alasan mengapa kita perlu menjadi dan melakukan yang terbaik. Meski kita semua tahu manfaat yang bisa kita dapatkan jika kita senantiasa menjadi dan melakukan yang terbaik, namun kalau boleh jujur kepada diri sendiri, ternyata kita tidak selalu konsisten melakukannya. Tidak berlebihan jika perjalanan hidup kita senantiasa naik-turun, begitu pun dengan prestasi yang kita raih.

Menurut pengamatan saya, ada sejumlah faktor penghambat ketika seseorang ingin menjadi dan melakukan yang terbaik, yaitu:

  1. Kurang motivasi.
  2. Tidak memiliki tujuan hidup.
  3. Betah di zona nyaman.
  4. Tidak mau bayar harga.
  5. Tidak ada situasi kompetitif.
  6. Ada hal di luar kendali.
  7. Adanya agenda tersembunyi.

Mari kita bahas satu per satu:

1. Kurang motivasi.

Disadari atau tidak, tindakan dan perilaku kita sehari-hari seringkali didasari pada motivasi yang ada. Motivasi yang mendasari perilaku serta tindakan seseorang bisa berasal dari dalam dirinya (internal) atau dari luar dirinya (eksternal).

Dari luar misalnya ingin mendapatkan rumah mewah, mobil mewah, naik jabatan atau reward tertentu jika ia bisa mencapai sebuah target dalam pekerjaannya. Terkadang motivasi dari luar ini bisa juga timbul setelah mengikuti sebuah seminar motivasi yang bisa membakar semangat hidup.

Sebaliknya, motivasi dari dalam adalah motivasi yang jauh lebih kuat sebab berasal dari hati. Motivasi internal ini bisa berupa kasih sayang atau pengalaman pahit yang disikapi secara positif. Misalnya, penghinaan-penghinaan akibat kemiskinan hidup seorang pemuda di masa kecil justru dijadikannya cambuk agar ia bisa berprestasi di kemudian hari.

Saya pernah melihat seorang pemuda yang sangat giat bekerja dan memiliki semangat belajar yang begitu tinggi karena ingin mengangkat harkat dan martabat keluarganya. Meski kedua orang tuanya hanya berprofesi sebagai buruh tani, rasa cinta keduanya kepada sang anak telah membuat sang anak mampu bangkit. Berbekal pendidikan S2, kini sang anak telah menduduki jabatan bergengsi di sebuah perusahaan besar di Jakarta. Salut!

2. Tidak memiliki tujuan hidup.

Seringkali saya bertanya kepada para mahasiswa yang akan wisuda, apa yang ingin mereka raih sepuluh tahun setelah mereka di wisuda. Sayang sekali, terhadap pertanyaan ini, biasanya tidak sampai lima persen yang bisa menjawabnya secara spesifik. Sebagian lainnya menjawab “saya ingin menjadi orang sukses” tanpa bisa menjelaskan secara jelas apa itu makna kesuksesan bagi dirinya sendiri.

Masa depan adalah milik mereka yang mempersiapkan dirinya sejak diri. Logikanya sangat sederhana, jika Anda pernah berlibur atau mudik tentu Anda tahu  bagaimana harus mempersiapkan semuanya itu jauh-jauh hari. Mulai dari tempat tujuan, biaya perjalanan hingga aktivitas yang akan dilakukan nantinya.

Mereka yang memiliki tujuan hidup atau impian jangka panjang biasanya akan lebih bersemangat dalam mengarungi kehidupan ini. Berbagai kegagalan dan proses perjuangan yang berat akan dihadapi dengan penuh rasa optimis.

3. Betah di zona nyaman.

Pada dasarnya setiap manusia sulit atau setidaknya enggan untuk berubah. Zona nyaman yang telah menjadi “kediaman” selama bertahun-tahun biasanya tanpa disadari akan membuat seseorang sulit untuk berkembang.

Tanyakan kepada mantan karyawan yang kini memilih jalur hidup sebagai wirausaha (entrepreneur) mengenai bagaimana mereka harus keluar dari zona nyaman. Dari orang yang setiap bulan menerima gaji –terlepas dari apakah perusahaan untung atau rugi- menjadi orang yang harus berteman dengan ketidakpastian.

Tentu keluar dari zona nyaman bukan perkara mudah. Bahkan kerap kali, keberanian untuk keluar dari zona nyaman diikuti dengan keberanian untuk melakukan revolusi diri. Baik cara berpikir, berperilaku hingga bertindak. Tidak mengherankan, orang-orang yang berani keluar dari zona nyaman seringkali seperti menjadi pribadi yang benar-benar baru.

4. Tidak mau bayar harga.

Tidak ada jalan mudah menuju sebuah puncak. Pesawat hanya bisa take off jika ia mau melawan gravitasi bumi. Berani bayar harga adalah kata kunci untuk mencapai sebuah kehidupan yang lebih baik. Umumnya proses bayar harga ini adalah sesuatu yang bisa sangat menyakitkan.

Terkadang ada juga orang yang hanya berani membayar separuh harga sehingga hasil yang diperoleh tidaklah maksimal. Contoh, sebagai seorang penulis saya kerap berjumpa dengan beberapa orang yang sebenarnya punya pemikiran-pemikiran yang sangat brilian dan berguna bagi generasi muda. Beberapa dari mereka saya sarankan untuk menulis buku. Sayangnya hanya sebagian dari mereka yang akhirnya bisa menerbitkan buku.

Sebagian lagi hanya sibuk berkata, “Oh konsep itu akan saya tuliskan di buku yang ketiga.” Sayangnya sampai hari ini buku pertama pun tidak pernah ditulis. Alasannya klasik: tidak punya waktu. Benarkah? Saya salut dengan seorang teman yang menjadi direksi sebuah perusahaan besar. Selama musim liburan, ia “mengurung diri” di kamarnya dan hasilnya sebuah buku terbit. Buku tersebut kemudian menjadi buku best seller yang konsepnya di pakai oleh berbagai perusahaan besar.

5. Tidak ada situasi kompetitif.

Keadaan serba tenang, aman, terkendali dan stabil terkadang bisa membuat seseorang tidak terpacu untuk lebih berprestasi. Situasi ini akan semakin diperparah jika ada romantisme nama besar masa lalu. Misalnya di masa lalu perusahaan A pernah menjadi market leader atau si X pernah menjadi karyawan teladan selama beberapa periode.

Situasi seperti ini biasanya mulai mengalami goncangan manakala hadir kompetitor yang menawarkan sesuatu yang lebih baik. Kompetitor ini bisa dari dalam organisasi (misalnya karyawan junior yang lebih kompeten) atau dari luar organisasi (muncul perusahaan baru yang lebih inovatif). Situasi seperti ini jika disikapi secara bijak dapat menjadi pemicu agar kita menjadi lebih baik lagi.

Sayangnya ada juga yang menyikapi situasi seperti ini dengan tindakan yang tidak produktif. Misalnya karyawan senior akan berusaha menyingkarkan karyawan junior dengan segala macam cara. Alhasil, organisasi pun kehilangan kesempatan untuk belajar menjadi lebih baik lagi.

6. Ada hal di luar kendali.

Niat untuk menjadi dan melakukan yang terbaik terkadang hanya menjadi niat baik lantaran berbagai faktor eksternal yang menghalangi. Seorang teman yang saya kenal memiliki dedikasi yang sangat tinggi akhirnya memutuskan untuk pindah kerja ke sebuah perusahaan keluarga lantaran sang pemilik perusahaan tersebut memintanya secara pribadi untuk membantu membenahi manajemen perusahaan.

Berbagai terobosan yang pernah dilakukan di perusahaan sebelumnya ia coba terapkan di perusahaan yang baru. Hasilnya bisa dibilang sangat mengecewakan, jika tidak mau dinilai gagal. Alasannya sederhana, ada beberapa hal di luar kendali sang teman ini.

Misalnya, kepemimpinan ganda (antara suami dan istri selaku pemilik perusahaan) membuatnya kerap bingung dalam memutuskan sesuatu. Hal ini diperparah dengan tuntutan kerja yang demikian tinggi namun tidak ditunjang dengan berbagai fasilitas yang mendukung.

7. Adanya agenda tersembunyi.

Pepatah lama berkata “dalam laut dapat diukur, dalam hati siapa tahu.” Ya, itu sangat benar. Adanya agenda tersembunyi ketika seseorang berada di sebuah organisasi secara langsung akan membuat orang tersebut tidak akan memiliki niat untuk tumbuh dan berkembang.

Misalnya, ia bekerja di sebuah perusahaan hanya untuk menjadi mata-mata bisnis perusahaan lainnya. Atau, pekerjaan sekarang hanyalah batu loncatan sementara demi meraih karir lainnya.

Bagaimana menurut Anda?

Bersambung …

* Best Selling Author, Motivational Teacher and Leadership Trainer. Click www.pauluswinarto.com.