Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada TUHAN, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu.

–       Buku Kehidupan

Bisakah kita mencintai melampaui usia hidup? Tiba-tiba saja pertanyaan reflektif ini terlintas dalam pikiran saya menjelang akhir tahun 2010 lalu. Pertanyaan ini sungguh menggelitik. Imajinasi saya kemudian melayang jauh membuat diri ini sadar bahwa banyak sekali hal-hal yang saya nikmati hari ini sesungguhnya bukan karena jasa atau tindakan saya.

Teramat banyak hal-hal baik yang jika direnungkan lebih jauh adalah hasil pengorbanan orang-orang yang telah mendahului saya, baik orang yang saya kenal maupun tidak saya kenal. Mulai dari hidup di negeri yang merdeka, aneka sarana serta peralatan yang menunjang kehidupan hingga berbagai prinsip-prinsip kehidupan saya dapatkan dari mereka yang sebagian besar tidak lagi berada di dunia ini.

Manusia dan sejarah telah menggoreskan tintanya. Ada orang yang hanya bisa menjadi pembaca sejarah. Ada orang yang justru menjadi pembuat sejarah, entah disadari atau tidak disadari. Setidaknya ia menjadi pembuat sejarah bagi generasi berikutnya di dalam lingkungan keluarganya, melalui karya nyata atau keteladanan hidup yang diwariskannya.

Nasionalisme dan Spiritualitas Hidup

Negeri Indonesia yang kita cintai bersama ini tentu belum sempurna. Ada masih banyak hal yang harus dibenahi dan ditingkatkan. Terus-menerus mengeluh atas berbagai ketidakberesan tentulah bukan hal yang produktif. Berdemo dan melakukan protes tidak selalu buruk namun bagi saya pribadi, berbuat sesuatu akan jauh lebih baik.

Ketika masih menjadi jurnalis, saya sempat menjadi saksi sejarah jatuhnya rezim Orde Baru. Menyaksikan aneka kritik pedas, caci maki hingga protes secara halus terhadap penguasa telah menjadi bagian sejarah hidup saya. Bahkan terkadang pun, sebagai jurnalis, kami ikut dalam arus melakukan kritik yang dibalut dengan bahasa “pers sebagai alat kontrol sosial”.

Hanya saja, saya kemudian sadar bahwa semua itu tidak cukup. Rasanya semua orang bisa menjadi pihak yang menunjukkan ada sesuatu yang salah namun hanya segelintir orang yang kemudian berupaya mencari solusi atas ketidakberesan tersebut. Saya pernah berdiskusi dengan seorang mantan pemain sepak bola dan ia berkata, “Seusai pertandingan bola, seorang tukang becak pun bisa menjadi profesor sepak bola yang kerjanya cuma menunjukkan mana yang salah.”

Kini, dalam kapasitas saya sebagai pembicara, trainer dan dosen tamu yang kerap berkeliling dari satu kota ke kota lain di negeri ini, saya sering berkata kepada anak-anak muda, “Teman-teman, Indonesia ini milikku dan milikmu. Lakukanlah yang terbaik demi anak cucu kita.  Jangan pernah putus asa. Jangan pernah menyerah! Mungkin kita tidak akan pernah melihat hasil perjuangan kita yaitu sebuah negeri yang adil makmur, bebas korupsi dan penuh kedamaian namun dari sana kita boleh tersenyum bangga dan berkata, negeri impian itu telah menjadi kenyataan.”

Itulah sebabnya saya berprinsip bahwa berbuat sesuatu yang positif bagi tanah air sesungguhnya bukan hanya soal nasionalisme semata tapi spiritualitas hidup. Ketika kita menjadi “garam dan terang” di tempat kita berada, saat itulah spiritualitas hidup mulai nampak.

Dari Mana Memulainya

Mewujudkan negeri impian tentu bisa dimulai dari diri kita sendiri dan dari tempat di mana kita berada saat ini. Ada tiga kata kunci yang barangkali bisa menjadi awal hidup kita bermakna di mana pun saat ini kita berada yaitu: kebutuhan, masalah dan potensi berkembang.

Seringkali kita tidak menyadari bahwa adanya kebutuhan dan masalah di sekitar kita adalah langkah awal untuk berbuat sesuatu. Diperlukan kerendahan hati serta kepekaan nurani untuk bisa menemukannya. Berbagai bencana alam di tanah air tahun 2010 lalu rasanya telah mengajarkan kita tentang hal ini. Ada yang menyumbang uang, sembako, tenaga dan sebagainya.

Pak Mulyadi, misalnya. Di  rumahnya yang sederhana di desa Winong, Boyolali menampung 160 pengungsi letusan Gunung Merapi, selama 20 hari (Kompas, 30 November 2010). Mulanya ia adalah sukarelawan yang mengantarkan makanan ke tempat pengungsian namun ketika lokasi pengungsian tidak lagi mampu menampung pengungsi, nuraninya pun tergerak. Kebun di belakang rumahnya pun digunakan untuk menampung ternak pengungsi.

Yang menarik, ketika berbagai perabot di rumahnya rusak semasa rumahnya menjadi tempat perlindungan bagi para pengungsi (mulai dari dispenser yang rusak karena diputar hingga meja batu di halaman rumah yang terbelah lantaran diduduki), Pak Mulyadi dan istri tidak marah. ”Mau saya ingatkan, tetapi khawatir nanti ada kata yang tidak pas malah menusuk perasaan. Lebih baik saya diamkan, nanti juga bisa diperbaiki,” ungkap pegawai Unit Pelaksana Teknis Dinas Pendidikan Kecamatan Mojosongo itu.

Mengapa Pak Mulyadi mau melakukan semuanya itu? ”Saya senang kalau bisa bermanfaat untuk orang lain. Untuk apa hidup ini kalau hanya bermanfaat buat diri sendiri?” tuturnya. Ia lalu mencontohkan betapa manusia tidak bisa bahagia sendirian. ”Tertawa sendiri kan tidak bisa? Malah nanti kita dibilang gila,” ujarnya tersenyum.

Apa yang dilakukan Pak Mulyadi barangkali bisa menjadi inspirasi bagi kita. Bahwa kasih yang berasal dari hati yang paling dalam dapat menjadi obat paling mujarab sekaligus pemberi harapan bagi sesama. Tindakan nyata yang kita lakukan untuk menjadi manusia yang memenuhi kebutuhan sekitar atau menyelesaikan masalah yang ada tentu akan menggoreskan catatan sejarah tersendiri bagi mereka yang merasakannya atau setidaknya membawa kebahagiaan bagi sang pelakunya.

Selain, kebutuhan atau masalah yang ada, kita juga bisa berbuat sesuatu yang bermakna dengan mengamati potensi berkembang yang ada. Proklamator Bung Karno sejak usia muda telah melihat potensi bangsa ini untuk merdeka. Itu juga yang dilihat oleh begitu banyak pahlawan bangsa.

Kekayaan alam bumi pertiwi yang begitu melimpah jika disandingkan dengan kualitas sumber daya manusia yang terus meningkat niscaya akan membuat bangsa ini menjadi bangsa yang besar, dihormati dan disegani. Anak-anak muda yang diarahkan untuk berkiprah sebagai wirausaha (entrepreneur) sesuai dengan potensi dirinya tidak hanya akan mengurangi angka pengangguran namun akan mempercepat kemakmuran negeri.

Akhirnya, perkenankanlah saya menutup refleksi saya dengan sebuah kisah sederhana yang dikirimkan seorang sahabat.

Suatu pagi seorang anak kecil tampak termenung sedih memandang dedaunan di taman depan rumahnya. “Apa yang membuatmu sedih, anakku?” tanya ayahnya. “Lihatlah ayah, mengapa embun yang begitu indah jatuh dan meresap ke dalam tanah tanpa meninggalkan bekas,” ujarnya.

“Itu adalah proses alami dan seharusnya seperti itu. Namun sebelum embun itu jatuh dari daun ia telah memberikan kesejukan kepada dunia. Pada waktu ia jatuh ke tanah ia memberi kehidupan dengan membasahi tanah,” jawab sang ayah.

Ketika kita hidup, jadilah embun yang memberikan kesejukan dan ketika kita berpulang sebagai proses alami tetap meninggalkan kehidupan bagi generasi mendatang. ***

* Best Selling Author, Motivational Teacher and Leadership Trainer. Klik www.pauluswinarto.com.