Oleh: Paulus Winarto *
People do not care how much you know until they know how much you care.
– John C. Maxwell
Percakapan malam itu (Jumat, 14 Maret 2014) antara saya dan Pa Bernard sungguh berkesan di hati saya. Masukan sangat berharga selama perjalanan dari Hotel Gumaya ke Resto Kampung Laut, Semarang maupun selama kami dinner sungguh memberikan nilai tambah bagi saya sebagai seorang motivational teacher.
Malam itu, Pa Bernard Lokasasmita, Senior Vice President (Head, Service and Operational Excellent) Permata Bank telah menjadi guru sekaligus konsultan bagi saya. Perbincangan dari hati ke hati dalam suasana informal itu juga menyinggung evaluasi performa saya sebagai pembicara. “Secara umum sudah bagus. Cuma ada dua joke yang dirasakan para peserta ngga pas. Maklumlah, audiens sebagian masih sangat konservatif,” katanya. Aha, saya teringat pepatah bijak, di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Beliau kemudian memberikan beberapa masukan lainnya.
Sebelumnya, saya telah beberapa kali berbicara di perusahaan beliau. Lembar evaluasi secara global menunjukkan nilai yang memuaskan alias di atas rata-rata (antara 4 sampai dengan lima, dalam skala 1 sampai 5). Dari waktu ke waktu saya berusaha melakukan improvement demi memenuhi kebutuhan dan ekspetasi klien. Masukan-masukan tertulis di lembar evaluasi pun menjadi pedoman bagi perbaikan di sesi-sesi selanjutnya.
Namun masukan malam itu dari Pa Bernard, terasa amat berbeda dan menyentuh. Maklumlah, sebagai salah satu pejabat yang bertanggung jawab atas pelaksanaan acara tersebut, apa yang diungkapan Pa Bernard tentu memiliki nilai tersendiri. Apalagi, setelah beberapa waktu mengenalnya, saya menangkap sinyal beliau orangnya cenderung formal namun di sisi lain bisa sangat hangat dan bersahabat.
Seusai sesi seminar “More Than A Winner” di Semarang, saya sempat berdiskusi dengan beliau. Saya senang karena tanggapan begitu positif dari beliau. Ekspetasi terpenuhi dan audiens pun memberikan respon positif. Atas semuanya saya hanya bisa memberikan ucapan banyak terima kasih.
Balance Between Care and Candor
Apa yang diberikan Pa Bernard kepada saya adalah sebuah tindakan untuk menyeimbangkan antara care (peduli) dan candor (keterusterangan). Care artinya menghargai pribadi orang tersebut. Candor artinya menghargai sekaligus peduli kepada potensi dan masa depan orang tersebut.
Dalam buku The 5 Levels of Leadership, John C. Maxwell menulis:
“Just because you care about people doesn’t mean you let them work without responsibility or accountability. If you care about people, treat them with respect, and build positive relationships with them, you actually have more numerous opportunities to speak candidly and have hard conversations with them that will help them to grow and perform better”.
Terjemahan bebasnya adalah :
Hanya karena Anda peduli kepada orang lain tidak berarti Anda membiarkan mereka bekerja tanpa tanggung jawab atau pertanggungjawaban. Jika Anda peduli kepada orang lain, perlakukanlah mereka dengan penuh rasa hormat, dan bangunlah hubungan yang positif dengan mereka, maka Anda sesungguhnya akan memiliki banyak kesempatan untuk berbicara terus terang dan memiliki percakapan yang sulit (penuh ceplas-ceplos) dengan mereka yang akan membantu mereka bertumbuh dan menunjukkan kinerja yang lebih baik.
Memang tidak mudah menyeimbangkan care and candor. Maxwell menambahkan, “Care without candor creates dysfunctional relationships. Candor without care creates distant relationships. But care balanced with candor create developing relationships.” Ya, kepeduliaan tanpa keterusterangan akan menciptakan hubungan yang tidak berfungsi dengan baik. Sebaliknya, keterusterangan tanpa kepedulian menciptakan jarak dalam hubungan. Namun menyeimbangkan keduanya akan mengembangkan hubungan baik.
Kebesaran Hati dalam Menerima Masukan
Menyeimbangkan antara care and candor adalah satu hal namun menyikapinya dengan lapang dada adalah urusan lain lagi. Dengan jujur saya mengakui bahwa diperlukan diperlukan proses yang tidak sebentar bagi saya untuk bisa menerima masukan dari orang lain dengan besar hati.
Pada masa awal karir saya sebagai penulis dan pembicara, belasan tahun silam, saya terkadang saya memiliki kecenderungan untuk bersikap reaktif manakala merasa terdesak. Terkadang saya bersikap defensif. Maafkanlah saya untuk hal yang satu ini. Namun waktu telah semakin mendewasakan saya. Saya membangun dan mengembangkan beberapa kesadaran berikut:
Saya bukan orang yang selalu benar.
Saya bukan orang yang tahu segala hal.
Saya bukan orang yang sangat ahli dalam bidang saya.
Saya masih harus terus belajar dan bertumbuh.
Saya tidak mungkin bisa menyenangkan semua orang.
Pa Sutikno Teguh, mantan bos saya yang kemudian memodali saya untuk membuka bisnis sendiri, pernah memberikan sebuah nasihat berharga. Katanya, “Dalam sebuah event seseorang bisa saja bertanya karena memang ingin tahu jawabannya – terutama dari perspektif pembicara, sekedar ingin menguji pembicara atau membutuhkan pembenaran atas opininya sendiri.” Tampaknya, hanya kematangan hidup dan proses pendewasaan diri yang dapat membuat seseorang mampu menanggapi semuanya dengan lebih bijak.
Ya, memang tidak semua orang tulus ketika mengutarakan sesuatu. Dalam laut dapat diduga dalam hati siapa tahu! Pada akhirnya, kita bisa jadi akan sangat menghargai orang-orang yang memberikan masukan dengan motif untuk perkembangan diri kita, meski pada tahap awal mungkin akan menyakitkan.
Para pemimpin yang sukanya hanya mendengarkan laporan yang bagus-bagus saja alias Asal Bapak Senang (ABS) rasanya perlu juga belajar untuk mendengarkan apa yang perlu mereka dengarkan, bukan hanya hal-hal yang ingin mereka dengarkan atau enak di telinga. Bagaimana menurut Anda? ***
* Author, Motivational Teacher, Leadership Trainer & Coach The John Maxwell Team. Beralamat di www.pauluswinarto.com.
–