Oleh: Paulus Winarto *
If you would win a man to your cause, first convince him that you are his sincere friend.
– Abraham Lincoln
Kegalauan tampaknya sedang berkecamuk dalam hati dan pikiran seorang pemimpin wilayah sebuah perusahaan besar. Ia merasa heran, mengapa anak buahnya seolah menjauh darinya, bahkan kerap berdasarkan bisik-bisik yang beredar, anak buahnya sering membandingkan dirinya dengan pemimpin wilayah sebelumnya yang dikenal dekat dengan anak buah.
“Sebenarnya saya juga ingin sekali bisa dekat dengan anak-anak. Saya juga ingin mereka datang kepada saya dan bercerita tentang banyak hal. Saya selalu siap untuk mendengarkan curhat mereka, sekali pun itu tidak ada hubungannya dengan pekerjaan,” katanya kepada salah satu manager.
Bandingkan dengan kisah seorang wakil rektor sebuah perguruan tinggi ternama di Jakarta. Dalam acara gathering, setelah seharian outbound, sang wakil rektor ini begitu larut dalam alunan irama dangdut bersama para stafnya. Tanpa rasa canggung, ia ikut bernyanyi dan bergoyang. “Saya memang suka dengan kebersamaan seperti ini. Dan entah mengapa anak-anak selalu bisa dekat dengan saya,” ujarnya sambil tersipu.
Apa yang membedakan pemimpin wilayah dan wakil rektor dalam cerita di atas? Sekilas tampak yang satunya kurang dekat dan satunya begitu dekat dengan anak buahnya. Satunya menunggu anak buahnya datang kepadanya. Satunya memilih mengambil inisiatif dalam membangun hubungan.
Leaders go first! Ya, pemimpin yang sebaiknya mengambil langkah pertama dalam menjalin sebuah hubungan. Mengapa? Karena anak buah cenderung sungkan untuk membuka komunikasi alias lebih memilih bersikap wait and see. Jika anak buah yang berinisiatif bisa jadi ia akan terkesan “menjilat” atau cari muka. Dalam kehidupan berumah tangga, rasanya kita semua setuju bahwa kepala keluarga yang harus mengambil inisiatif dalam membangun hubungan.
Sayangnya tidak semua pemimpin bersedia membangun jembatan hubungan terlebih dahulu. Penyebabnya macam-macam, antara lain immaturity dan ego. Immaturity identik pola pikir seorang bayi yang menganggap dirinya sebagai pusat alam semesta sehingga tidak mampu melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain. Seorang bayi yang kehausan akan terus menangis sampai ia mendapatkan apa yang ia mau, tidak peduli kesibukan yang sedang dilakukan ibunya. Ego lebih berkaitan dengan merasa dirinya paling penting dan paling hebat. Orientasi ego lebih kepada mendapatkan pujian dan penghargaan dari orang lain. Para pemimpin yang egois selalu ingin orang datang kepada mereka dan mengatakan betapa hebatnya mereka.
Sebuah studi yang dilakukan oleh Jay Hall of the consulting firm Teleometrics terhadap 16.000 eksekutif menemukan ada kaitan langsung antara prestasi tim dan kemampuan seorang pemimpin dalam membangun kepedulian dan hubungan dengan anak buahnya.
Ketika para low achievers hanya sibuk dengan urusannya sendiri dan average achievers memilih berkonsentrasi semata-mata pada produksi, high achievers justru menyeimbangkan kepedulian kepada orang-orangnya sebagaimana ia peduli pada profit. Ketika low achievers menghindari komunikasi sembari bersandar pada buku pedoman kebijakan perusahaan dan average achievers hanya mendengarkan atasannya, high achievers bersedia mendengarkan semua orang.
Lalu, apa kunci terpenting bagi seorang pemimpin dalam membangun hubungan? Saya kira pemimpin perlu membangun kesadaran untuk menghargai setiap orang sebagai sesama manusia (value people). Tanpa kesadaran ini, mustahil rasanya seorang pemimpin akan menginvestasikan waktunya untuk orang lain.
Ironisnya, para pemimpin seringkali menuntut loyalitas dari anak buahnya namun melupakan hal mendasar bahwa sesungguhnya loyalitas sejati diberikan secara sukarela, bukan dengan paksaan. Loyalitas diberikan manakala anak buah melihat pemimpinnya mampu memenangkan hati mereka. Dengan demikian ada ikatan yang kuat. Tidak hanya ikatan profesionalisme kerja tapi ikatan emosional.
Belasan tahun silam, sewaktu saya menjabat sebagai Head di sebuah perusahaan keluarga di Bandung, saya mencoba mendekati staf dengan beberapa tindakan kecil, sederhana dan praktis. Mulai dari menyapa mereka terlebih dahulu, mentraktir makan siang, hingga membawa gorengan atau martabak manakala berkunjung ke cabang. Sesekali ketika anak-anak lembur, saya hampiri mereka sembari membawakan kopi buatan saya.
Masih teringat jelas ketika saya sedang makan siang sendirian di kantin sebelah kantor. Lewatlah seorang karyawan yang seringkali dicap sebagai provokator. Saya memanggilnya dan minta ia duduk. “Udah makan, Mbak?” tanya saya. Dengan nada ketus, ia menjawab, “Udah!”. Saya kemudian menawarinya minum dan membungkus makanan. Kami lalu terlibat obrolan. Saya lebih banyak berbicara tentang dirinya, mulai dari sudah berapa lama kerja di perusahaan ini, tinggal di mana, bagaimana keluarganya. Tidak lama kemudian kemudian, matanya mulai berkaca-kaca. “Lima belas tahun saya bekerja di sini, belum pernah ada satu pun pimpinan yang ajak saya makan seperti Bapak ini,” katanya. Mengharukan!
John Maxwell dalam bukunya Everyone Communicates, Few Connect melukiskan dengan begitu indah manfaat dari usaha pemimpin membangun hubungan dengan anak buahnya,
Whenever you can help other people to understand that you genuinely care about them, you open the door to connection, communication and interaction. You begin to create a relationship. And from that moment on, you have the potential to create something beneficial for both you and them, because good relationships usually lead to good things: ideas, growth, partnerships, and more. People live better when they care about one another.
Bagaimana menurut Anda? ***
* Author, Motivational Teacher, Leadership Trainer & Coach The John Maxwell Team. Beralamat di www.pauluswinarto.com.
–