Oleh: Paulus Winarto *
The high destiny of the individual is to serve rather than to rule.
– Albert Einstein
Kecewa! Kata itu barangkali bisa menggambarkan perasaan saya setelah flip cover smartphone pesanan saya dikabarkan tidak tersedia. Beberapa jam sebelumnya, saya memang memesan flip cover (katakanlah tipe A) di sebuah toko online.
Sebetulnya toko online ini hanyalah semacam koordinator atau mal virtual sebab di dalamnya banyak sekali penjual (seller). Jadi, setelah kita memesan barang dan melakukan pembayaran, maka pesanan kita akan diteruskan oleh toko online tersebut ke seller untuk kemudian diproses. Uang yang kita bayarkan baru akan diteruskan ke seller jika kita telah mengkonfirmasi penerimaan barang pesanan via internet.
Berhubung barang pesanan saya tidak ada maka uang yang telah saya bayarkan secara otomatis dikembalikan dalam bentuk poin, dengan asumsi bisa digunakan untuk pembelanjaan berikutnya. Ketika saya tanyakan via telepon, bisakah saya menerima kembali uang saya dalam bentuk cash, petugas customer service menjawab, bisa saja namun saya harus mengajukan surat permohonan tertulis. Wah, sungguh merepotkan! Padahal saya pihak yang dirugikan.
Saya kemudian mencoba memesan flipcover tipe B ke seller yang sama di toko on line tersebut. Warna pesanan flipcover kali ini adalah hijau. Pembayaran pun dilakukan dengan menggunakan poin hasil refund pesanan sebelumnya..
Beberapa hari kemudian, barang pesanan pun tiba. Sayangnya yang saya terima warnaya adalah hitam, bukan hijau sesuai pesanan. Saya kemudian mengontak nomor handphone pengiriman yang tertera di kemasan produk. Mr. X –pemegang nomor tersebut- berjanji kepada saya bahwa besok saya akan dihubungi oleh staf marketing seller.
Mr. X pun menyatakan permintaan maafnya. Saya kemudian mencoba berempati dengan mengatakan, “Ngga apa-apa, Mas. Flipcover berwarna hitam ini saya terima aja namun saya minta dikirimkan yang warna hijau dan saya minta harga khusus sebagai bentuk pertanggungjawaban kesalahan Anda.”
Apa mau dikata, hari demi hari berlalu, saya sama sekali tidak dihubungi oleh staf marketing seller. Akhirnya di suatu siang, saya mengirimkan keluhan saya via e-mail ke toko online tersebut. Beberapa jam kemudian, barulah staf marketing seller menghubungi saya melalui sms dengan isi kurang lebih seperti ini:
Siang, saya dari seller. Pesanan barang berwarna hijau tuh kosong jadi saya kirimkan yang hitam. Baru restock 2 minggu lagi. Seandainya mas tidak cocok dengan warnanya, tolong dikirim balik aja. Uang akan kami refund.
Apa yang terlintas di benak Anda membaca sms seperti itu? Bagi saya ini adalah tanda tidak peduli. Ketika saya mencoba berkomunikasi via sms, staf marketing ini hanya menjawab, “Maaf saya sedang banyak kesibukan.” Lalu ia kembali mengulang pesan di atas agar barang dikembalikan dan uang akan di-refund.
Ada juga pengalaman ketika saya berbelanja di sebuah supermarket dan tertera harga promo pada sebuah produk minuman teh dalam kemasan. Harga promo berlaku untuk all variant. Saya kemudian mengambil varian teh gula batu.
Sayangnya, ketika transaksi di kasir, varian teh gula batu harganya normal sehingga tidak ada diskon. Saya kemudian komplain ke supervisor dan beliau mengatakan, “Mohon maaf, Pak, khusus varian terbaru ini tidak berlaku harga promo!”
Merasa hak sebagai konsumen tidak dipenuhi, saya kemudian mengatakan padanya, “All variant is all variant!”. Setelah saya cek ke staf customer service ternyata supervisor ini terbilang anak baru. Beruntung, ia segera melaporkan ke otoritas yang lebih tinggi. Alhasil, varian tersebut termasuk harga promo dan saya pun mendapatkan cashback.
Sungguh, saya amat prihatin dengan pola-pola pelayanan (service) yang menjawab sekenanya, tidak sedikit pun berempati dan berinisiatif melakukan pengecekan lebih lanjut. Para pakar kepuasan pelanggan seringkali mengingatkan bahwa complaint handling sebenarnya hanya terdiri dari beberapa poin dasar, yakni minta maaf, mendengarkan dan follow up (memberikan solusi).
Dalam buku karya Yuliana Agung, MBA yang berjudul “YES! I Can Serve” dikatakan ada lima prinsip dasar pelayanan pelayanan pelanggan, yakni:
1. Menciptakan kesan pertama yang positif.
2. Keramahan dan kesopanan.
3. Menunjukkan sikap yang baik.
4. Integritas.
5. Melayani dengan hati.
Secara pribadi saya menyakini bahwa di atas segalanya ada satu aturan sederhana yang bisa diterapkan dalam hubungan antar manusia, termasuk dalam melayani pelanggan yaitu Golden Rule (Aturan Emas). Prinsip ini bukanlah prinsip yang baru. Bunyinya pun sangat sederhana:
Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka (do for others what you want them to do for you).
Prinsip ini membuat kita lebih mudah berempati atau menempatkan diri di posisi lawan bicara lalu berpikir, “Jika saya berada dalam kondisi ini, saya ingin diperlakukan seperti apa?”. Atas dasar ini, kita akan terpacu untuk berbuat terbaik bagi orang lain, siapa pun itu, apalagi pelanggan.
Persaingan yang begitu ketat dalam dunia bisnis, seharusnya menyadarkan setiap pelaku bisnis untuk lebih meningkatkan pelayanannya. Pola pikir “mau beli silakan, ngga mau beli masih banyak yang mau beli” seharusnya sudah ditinggalkan. Perusahaan yang akan eksis dalam jangka panjang bukan lagi sekedar yang memberikan apa yang dibutuhkan atau diharapkan oleh pelanggan namun mampu melampaui segala kebutuhan dan harapan pelanggan. Bahkan, mampu memberikannya sebelum pelanggan memintanya.
Bagaimana menurut Anda ***
* Best Selling Author, Motivational Teacher, Leadership Trainer & Coach The John Maxwell Team. Klik www.pauluswinarto.com.