Oleh: Paulus Winarto *
Sukacita dalam hidup tidak selalu datang dari memenangkan kompetesi. Terkadang sukacita yang jauh lebih besar datang dari indahnya kebersamaan.
“Tanpa dukungan teman-teman, saya tidak mungkin bisa mencapai puncak. Tadinya saya sudah mau berhenti di tengah jalan, tapi teman-teman terus memberikan semangat dan kepedulian. Itulah yang membuat saya kuat dan bangkit kembali,” kata Bella Yavicia Jap. Mamah Bella –begitu saya biasa menyapanya- memang mengalami keletihan luar biasa saat kami mendaki Gunung Sinai, di tengah malam itu.
Ceritanya, akhir tahun 2015 lalu, saya bersama rombongan Gracia Tour melakukan perjalanan wisata rohani ke Holy Land (Yordania, Israel dan Mesir). Menjelang hari akhir tur, kami mengunjungi Sinai di Mesir. Salah satu agenda yang ditawarkan adalah mendaki puncak Gunung Sinai, tempat Nabi Musa menerima 10 Perintah Allah. Medan untuk mencapai puncak memang tidak mudah. Ditambah musim dingin serta hembusan angin yang sangat kencang, perjalanan mendaki gunung setinggi 2.285 meter itu menjadi tantangan tersendiri.
Menjelang malam, kami tiba di hotel di kaki Gunung Sinai. Oleh tour leader, Timotius Michael Litha dan local guide, Amir Gaballah Samuel, kami diberikan briefing tentang seluk-beluk pendakian. Peserta yang berminat untuk mendaki diminta untuk tidur lebih awal karena sekitar pukul 23.00 proses pendakian akan dimulai.
Waktu yang ditunggu pun tiba. Dari hotel kami berangkat dengan bis menuju Terminal Unta. Perjalanan dilanjutkan dengan menaiki unta, sekitar 90 menit. Satu orang satu unta. Unta-unta ini adalah milik suku Bedouin yang tinggal di daerah situ. Untuk menghangatkan suasana, kami bernyanyi dan secara berkala kami meneriakan yel-yel singkat. Ketika satu peserta meneriakan yel, peserta lainnya harus menyahut. Sayangnya, sahutan itu tidak selalu ada karena dalam perjalanan, ada unta yang lambat, ada yang cepat sehingga bisa menyalib unta lainnya. Alhasil, sesekali jarak antara unta sangat jauh.
Perjalanan menggunakan unta di tengah malam itu memberi kesan tersendiri. Kami tidak boleh menyalakan senter karena cahaya dari senter bisa membuat unta tidak nyaman. Lagipula, unta sudah terbiasa dengan rute tersebut, sekali pun tanpa penerangan. Beruntung, ada cahaya bulan yang ikut membantu penerangan jalan berbatu-batu itu. Iman kami juga harus kuat. Selain beriman kepada Tuhan, mau tidak mau, juga harus beriman kepada unta sebab lebar jalan hanya sekitar 2-3 meter dengan jurang di satu sisinya.
Sesampai terminal unta atas, kami pun beristirahat sejenak di warung kopi. Harga segelas kecil teh atau kopi instan 2 dollar (USD) dan mie cup instan 4 dollar. Terbilang mahal tapi tidak ada pilihan lain jika mau menghangatkan tubuh. Tour leader mengkonfirmasi kembali siapa saja yang masih mau meneruskan perjalanan menuju puncak. “Masih sekitar 750 anak tangga dan harus ditempuh dengan berjalanan kaki. Yang merasa fisiknya tidak kuat, mohon tidak memaksakan diri,” jelas Michael.
Sebagian peserta memilih untuk tinggal di warung kopi dan beberapa waktu kemudian turun dengan berjalan kaki. Saya dan bersama 10 rekan peserta tur lainnya, telah bertekad untuk meneruskan perjalanan puncak Gunung Sinai. Medannya memang sungguh berat. Suhu saat itu hanya sekitar 3o celcius. Sungguh menusuk bagi kami orang Indonesia. Ditambah hembusan angin yang begitu kencang membuat tubuh seringkali menggigil kedinginan.
Sisa perjalanan ini sangat berkesan. Anak tangga berupa batu-batu yang tidak beraturan itu membuat beberapa dari kami kadang terpeleset meski tidak sampai jatuh. Berpegangan tangan dan saling menolong menjadi hal terindah saat itu. Dalam hitungan menit, secara berkala kami berhenti sejenak untuk beristirahat. Seringnya dibalik batu besar, demi menghindari hembusan angin kencang.
Beberapa pemuda dari suku Bedouin berkali-kali menawarkan bantuan untuk menggandeng dan menarik peserta yang barangkali tidak kuat. Tentu ini tidak gratis. Harganya juga musti dinegosiasikan dari awal. Kalau tidak, bisa “digetok” saat tiba di puncak. Terhadap tawaran bantuan ini, berkali-kali pula kami menolak secara halus dengan mengatakan, “No, thank you.”
Suasana sempat menjadi agak tegang manakala salah satu dari mereka bersikap kasar dengan mengatakan, “You are not a good man. You are so selfish!” Merasa terusik, salah satu peserta (Erlim) sempat memberikan jawaban, “Why do you say that? We are not selfish. We want to try by ourselves. If we need your help, we will tell you.” Suasana sempat menjadi agak tegang. Kami lalu mencoba menenangkan Erlim.
Di tengah perjalanan ini, Mamah Bella terlihat sangat letih. Beberapa kali, saat beristirahat sejenak, ia pun berujar, “Kayaknya saya tidak kuat lagi.” Kami pun menemaninya. Solidaritas pun mulai muncul dengan lebih sungguh. Ada yang memberikannya permen jahe. Ada juga yang memberikan minyak angin. Kami pun sepakat mendoakannya. Tidak ada satu pun dari kami yang bersikap meninggalkan Bella. Seakan semuanya mengambil sikap “kita akan bersama-sama menuju puncak”.
Saat itu, Musa, pemuda suku Bedouin yang menjadi guide kami sepanjang perjalanan di Sinai, juga ikut memberikan semangat. Sering, ia pun menjadi “tameng” bagi Bella ketika angin berhembus kencang dengan cara meminta Bella berlindung di belakangnya. Ia pun menjadi helper bagi Bella.
Kami pun sepakat menunggu Bella pulih sembari kami pun beristirahat sejenak. Bella pun mendapatkan kekuatan baru dari solidaritas itu. Penuh semangat kami semua berhasil mencapai puncak setelah berjalanan kaki lebih dari 2 jam. Langit masih gelap.
Di puncak Gunung Sinai, kami melakukan ibadah di halaman sebuah gereja kecil. Tidak lupa, kami juga mendoakan bangsa dan negara Indonesia agar semakin dekat dengan Tuhan. Dekat gereja itu berdiri sebuah masjid kecil. Gereja dan masjid itu memang tidak lagi digunakan. Kabut begitu pekat. Suasana begitu syahdu. Dengan jelas, saya bisa melihat awan yang begitu dekat bergerak dengan sangat cepat.
Seusai ibadah, penuh sukacita kami berjalan kaki menuruni gunung. Matahari mulai terbit. Kegiatan berfoto atau selfie menjadi bagian menyenangkan selama perjalanan kami. Sekitar pukul 7.30 akhirnya kami tiba di kaki gunung.
Satu pelajaran terpenting bagi saya, ternyata sukacita karena kebersamaan bisa jauh melampaui sukacita ketika kita memenangkan kompetisi. Lagipula, hidup ini tidak selalu merupakan lomba untuk menjadi lebih unggul atau lebih hebat daripada orang lain. Yang pasti, solidaritas dan persahabatan yang terbangun di Sinai akan selalu menjadi kenangan tersendiri dalam hidup saya. ***
* Best Selling Author, Motivational Teacher, Leadership Trainer & Coach The John Maxwell Team. Klik www.pauluswinarto.com.