Oleh: Paulus Winarto *
The goal is more important than the role.
– The Law of The Big Picture, John C. Maxwell
Terkecoh! Kata itu mungkin paling tepat menggambarkan apa yang terjadi saat pertandingan antara Barcelona vs Celta Vigo, pertengahan Februari 2016 silam. Ya, banyak yang terkecoh ketika Lionel Messi, pemain terbaik dunia 2015 ini melakukan penalti unik pada menit ke-81 pertandingan.
Messi yang didaulat melakukan penalti tidak melepaskan tendangan langsung ke arah gawang, tetapi menyodorkan bola ke arah kanan depan dan membuatnya seperti sebuah operan atau umpan kepada Luis Suarez yang datang dari arah belakang. Alhasil, gol pun tercipta berkat tendangan Suarez. Barcelona pada akhirnya menang 6-1. Yang menarik, dari 6 gol tersebut, Suarez meraih predikat hat-trick (mencetak tiga gol) dan Messi hanya mencetak satu gol.
Pemain Barcelona lainnya, Neymar mengatakan bahwa umpan Messi itu sesungguhnya ditujukan untuk dirinya namun yang terjadi Suarez datang terlebih dahulu untuk menjemput bola. “Kami telah mempersiapkan hal itu di sesi latihan dan penalti itu untuk saya. Namun, pada akhirnya ‘El Gordo’ (panggilan Suarez) berada lebih dekat dan mencetak gol,” kata Neymar kepada SPORT.es.
Dalam tayangan ulang, Neymar pun terlihat berusaha mengejar bola di belakang Suarez. Saat melakukan selebrasi, pemain andalan tim nasional Brasil itu pun sempat mempertanyakan hal tersebut kepada Suarez.
Meski demikian, sebagaimana dikutip dari kompas.com, Neymar mengatakan bahwa hubungan dirinya dengan Messi dan Suarez tetap baik. Penalti yang dilakukan Messi itu juga merupakan refleksi keharmonisan antara ketiga penyerang Barcelona tersebut atau kerap disebut Trisula Barcelona.
“Hubungan kami semua sangat baik dan persahabatan kami adalah hal yang paling penting. Siapa yang mencetak gol itu tidak penting, yang terpenting adalah meraih kemenangan,” ucap Neymar. Wow!
The goal is more important than the role! Sasaran yang ingin diraih (goal) tetaplah lebih penting dari peran yang dimainkan (role). Mungkin kita semua masih ingat kalimat khas komedian Tukul Arwana yaitu ‘kembali ke laptop’. Serupa dengan itu dalam tim, ada satu prinsip dasar yang sangat penting yakni ‘kembali ke tujuan utama’.
Sikap besar hati yang ditujukan Messi dengan mengoper bola dan yang ditunjukkan Neymar dengan mengutamakan kemenangan serta persahabatan dalam tim, patut diacungi jempol. Memang, dalam tim, hampir selalu ada individu yang ingin menjadi bintang lapangan. Ia seakan ingin menonjol seorang diri. Sayangnya, sikap seperti ini justru sering mengakibatkan tim terpuruk.
Dalam sepak bola, orang-orang seperti ini biasanya sangat bernafsu menjadi pencetak gol terbanyak. Alhasil ia tidak pernah mau mengumpankan bola kepada rekan satu tim yang justru berada lebih dekat ke gawang dan berpeluang lebih besar untuk mencetak gol.
Hal ini tidak hanya terjadi di lapangan sepak bola. Dalam berbagai aspek kehidupan pun hal ini bukanlah sesuatu yang baru. Kalau Anda rajin menonton acara talkshow di televisi, yang menghadirkan para tokoh masyarakat dan pejabat negara, Anda bisa melihat perdebatan sengit tidak jelas demi memenangkan ego masing-masing.
Suatu kali, malah saya menyaksikan sendiri bagaimana seorang anggota parlemen katanya yang terhormat saling memaki dengan seorang krimolog. “Mulut kau bau,” kata sang krimolog. Merasa tidak terima, sang anggota parlemen pun membalas dengan nada tinggi, “Mulut prof juga bau!” Sungguh sebuah tontonan yang tidak pantas, bahkan menjadi contoh yang sangat tidak baik bagi generasi penerus.
Kembali ke tujuan utama (big picture) dapat menjadi solusi manakala perbedaan atau konflik muncul. Dalam kehidupan bernegara, tujuan utama itu tercantum jelas dalam Pembukaan UUD 45, yaitu: membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Lupa akan tujuan utama juga bisa terjadi dalam lembaga sosial keagamaan. Hampir bisa dipastikan, sesekali juga muncul sikap saling bersaing, saling menjatuhkan dan ingin menonjol sendiri. Dalam sebuah lembaga agama yang para pengurusnya tidak digaji atau memperoleh imbalan materi, ada saja pengurus yang haus kekuasan. Ia ingin, bahkan memaksakan semua pendapatnya diikuti meski tidak semuanya bermanfaat bagi perkembangan organisasi.
Tujuan utama tidak hanya bisa menyatukan dan mempererat hubungan, namun juga menjadi jalan tengah atau solusi bagi setiap konflik yang muncul. Tujuan utama membuat semuanya bisa diselesaikan secara baik-baik. Sebagai contoh, ketika suami istri ribut, cobalah kembali ke tujuan utama pernikahan. Tanyakan, apakah sebagai suami atau istri, Anda dulu menikah untuk mencari teman hidup atau musuh hidup? Jika musuh hidup, teruskanlah konflik itu (mungkin juga untuk memenangkan ego salah satu pihak yang merasa diri paling benar). Jika teman hidup, berusahalah memahami dan memaafkan lalu kembali menata kehidupan pernikahan.
Jangan pernah lupa, ketika dua tim dengan kekuatan yang sama bertanding, maka hampir dapat dipastikan tim yang paling rukunlah yang akan menang, Kerukunan dalam tim bukanlah hal yang otomatis terjadi. Kerukunan harus diupayakan dengan sungguh-sungguh oleh segenap anggota tim yang memiliki kesadaran mereka ‘berada pada perahu yang sama dan sedang berlayar untuk mencapai tujuan bersama’.
Dengan demikian, alangkah baiknya jika sesering mungkin kita ingat bahkan kembali ke tujuan utama. Bagaimana menurut pengalaman Anda? ***
* Best Selling Author, Motivational Teacher, Leadership Trainer & Coach The John Maxwell Team. Klik www.pauluswinarto.com.