Oleh: Paulus Winarto *
Encouragement is oxygen to the soul.
– George Matthew Adams
Siang itu, putri kami, Priscilla Natali Winarto (10 tahun) tampak sangat ceria ketika dijemput pulang sekolah. Dengan bangganya, ia menunjukkan kepada papa dan mamanya secarik kertas berisi aneka tulisan berwarna-warni. “Papa, mama, ini kertas isinya kesan teman-teman dan Bu Tika terhadap aku,” katanya.
Di penghujung tahun ajaran 2015/2016, persisnya setelah masa Ujian Kenaikan Kelas, 10 Juni 2016, Wali Kelas Priscilla, Ibu Maria Margareta Sartika –biasa dipanggil Bu Tika- membagikan satu lembar kertas kosong kepada setiap anak didik di kelasnya. Tiap siswa lalu diminta menuliskan namanya dan satu sifat positifnya di kertas tersebut.
Kertas tersebut kemudian digilir ke teman-teman sekelas untuk diberikan kesan singkat positif (1 atau 2 kata) tentang siswa yang namanya tertera di kertas tersebut. Bu Tika pun ikut memberikan kesannya. Di kertas itu, tertulis jelas komentar teman-teman sekelas Priscilla di Kelas 5C terhadap dirinya, antara lain:
- Jago gambar
- Kreatif
- Pintar
- Baik hati
- Hebat
- Lucu
- Cool
- Imut
- Cantik
Rupanya kertas tersebut sangat berkesan bagi Priscilla, sampai-sampai ia minta di-laminating. “Mau aku simpan,” ujarnya penuh semangat. Secarik kertas itu akan menjadi penyemangat baginya.
Siapa yang tidak membutuhkan dorongan semangat (encouragement)? Pria, wanita, para manula maupun anak kecil, semuanya butuh disemangati. Faktanya, semua manusia pasti mengalami masa-masa tidak enak dalam hidupnya. Di saat-saat seperti itu, dorongan semangat sangat diperlukan. Dorongan semangat memberikan kekuatan dan pengharapan bahwa masa-masa sulit pasti akan berlalu.
Di sisi lain, dorongan semangat juga dapat menjadi acuan bagi seseorang untuk senantiasa melakukan hal-hal terbaik. Misalnya, jika sebagai orang tua, kita memuji prestasi belajar anak, maka pujian tersebut akan memacu ia untuk terus berprestasi di kemudian hari. Seorang pemimpin yang memuji perilaku jujur anak buahnya secara tidak langsung mengungkapkan ekspetasinya agar anak buah tersebut tetap berperilaku jujur di hari-hari yang akan datang. Jika anak buah tersebut sungguh respek kepada sang pemimpin, niscaya ia akan berjuang untuk mempertahankan perilakunya itu.
Semua orang membutuhkan dorongan semangat! Bahkan mereka yang sudah masuk kategori orang besar pun masih tetap membutuhkannya. Sebuah pameran di Smithsonian Institution menampilkan barang-barang pribadi yang dibawa Presiden Amerika, Abraham Lincoln, pada malam ia mati tertembak, yaitu sehelai sapu tangan kecil dengan bordiran “A. Lincoln”, sebuah pisau lipat, sebuah kotak kacamata yang ditambal benang kapas, uang kertas lima dolar, dan kliping koran usang yang memuji prestasi sang presiden. Kalimat awal pada kliping itu bertulisan, “Abe Lincoln is one of the greatest statesmen of all time (Abe Lincoln adalah salah satu negarawan terbesar sepanjang masa) …”
Sebagai seorang pejabat negara, Lincoln senantiasa menghadapi berbagai kecaman dan kritik yang berpotensi membuatnya kecil hati. Tidak perlu diragukan lagi, artikel usang yang telah lusuh tersebut sering dibacanya berulang-ulang untuk menguatkan dirinya dalam menghadapi masa-masa sulit. Artikel tersebut juga menjadi “pengawal” agar ia tetap menjaga perspektifnya sebagai seorang negarawan yang harus berbakti kepada bangsa dan negaranya.
Saya juga teringat kepada seorang mantan murid saya yang kini menjadi pejabat negara. Saat menempuh pendidikan di Bandung, kami sempat beberapa kali berdiskusi tentang pentingnya memberikan semangat kepada orang-orang di sekitar kita. Tidak hanya kepada anak buah di tempat kerja, namun juga kepada anggota keluarga di rumah.
Dengan jujur ia mengakui jika ia lebih sering memarahi anak-anaknya, terutama soal belajar. “Anak-anak hampir tiap hari saya marahi. Susah banget suruh mereka belajar!” curhatnya. Saya kemudian merespon, “ Apa Mas ngga capeh tiap hari marah-marah? Saya aja yang dengar cerita Mas ikut capeh.” Kami berdua pun tertawa.
Untuk hal-hal seperti ini, saya lebih memilih melakukan pendekatan sebagai sahabat. Sesekali ia memanggil saya Pak. Di lain waktu ia memanggil saya Mas atau Kakanda. Yang pasti hubungan kami memang terbilang akrab. “Coba Mas sesekali bicara hal-hal positif kepada anak. Kalau pas anak mau ujian, panggil dia dan ajak bicara dari hati ke hati. Katakan, ‘Nak, Ayah tahu kalau sudah belajar sungguh-sungguh. Ayah doakan semoga kamu berhasil mendapat nilai terbaik’. Saya kira semangat juangnya akan muncul,” saran saya.
Saya bersyukur saran saya benar-benar dilakukannya. Perlahan namun pasti semangat belajar anak-anaknya pun tumbuh dan prestasi belajar semakin baik. Tidak hanya itu, yang terpenting hubungan ayah dan anak juga semakin harmonis. Saya sungguh terharu dan ikut merasa bahagia.
Dunia ini penuh dengan orang yang mengalami krisis percaya diri. Krisis ini akan semakin parah manakala tidak ada orang di sekitar mereka yang memberikan dorongan semangat positif. Jika anak-anak hidup dalam lingkungan yang setiap harinya ia hanya menerima celaan, kritikan hingga makian, maka bisa dipastikan anak-anak ini akan tumbuh dengan sikap mental negatif. Manifestasinya di kemudian hari akan bermacam-macam mulai dari skeptis, sinis, terbiasa mencela hingga menyakiti orang lain.
Tidak berlebihan jika Mother Teresa pernah berpesan, “Kind words can be short and easy to speak, but their echoes are truly endless.” Ya, kata-kata yang positif bisa jadi sangat singkat dan mudah diucapkan namun gemanya tak pernah berkesudahan. Pertanyaannya, sudahkah Anda memberikan dorongan semangat kepada orang di sekitar Anda hari ini? ***
* Best Selling Author, Motivational Teacher, Leadership Trainer & Coach The John Maxwell Team. Klik www.pauluswinarto.com.
A great article for reflecting our deeds. Thank you Bro Paulus??? Let’s be an encourager in everyday?