REACH YOUR MAXIMUM POTENTIAL (wawancara)
Mencapai potensi maksimal! Sebuah tantangan sekaligus proses kehidupan untuk menjadi lebih baik. Untuk itulah Alex Japalatu dari majalah INSPIRASI mewawancarai Paulus Winarto, penulis buku-buku motivasi dan motivational teacher. Berikut kutipannya.
Bagaimana caranya kita tahu apakah diri kita sekarang ini sudah mencapai potensi maksimal kita atau belum?
Sejujurnya kita tidak pernah tahu batas maksimal kita. Ini seperti pertanyaan, kapan pastinya kita mati. Yang terpenting sepanjang hidup, kita harus terus bertumbuh menjadi lebih baik sehingga lebih banyak yang bisa kita bagikan kepada sesama. Kata kuncinya adalah terus bertumbuh (keep growing).
Kalau mau agak dipaksakan untuk menjawab pertanyaan ini, maka jawabannya adalah batas maksimal potensi yang telah kita capai ya pada saat kita menghembuskan napas terakhir. Nah itu tidak berarti kita sudah memanfaatkan secara maksimal sesuai dengan yang Tuhan berikan sebab banyak pakar yang berpendapat dalam hidup manusia biasanya hanya menggunakan maksimal 5 % dari total potensinya.
Contohnya begini. Katakan sebagai penulis, ketika saya berpulang saya telah menulis 50 buku. Ini adalah batas maksimal yang telah saya capai. Namun apakah itu benar-benar maksimal? Bisa jadi tidak! Sebab bisa jadi, jika saya lebih sungguh-sungguh saya bisa menghasilkan 100 buku. Mengapa hanya 50 buku? Mungkin karena saya sibuk mengurusi hal-hal lain sehingga waktu menulis berkurang atau saya tidak belajar lagi sehingga ilmu saya mandeg sampai di titik tertentu.
Itulah sebabnya saya mendefinisikan sukses sebagai perjalanan untuk menjadi diri kita yang terbaik dan melakukan yang terbaik. Artinya itu harus dilakukan secara konsisten setiap saat.
Contoh, sebagai seorang penulis, kini saya telah memasuki tahap penulisan buku ke-14 yang saya targetkan terbit paling lambat Agustus tahun depan.. Buku ketiga belas saya akan terbit sekitar Desember ini dalam bentuk komik. Formatnya saya bikin dalam bentuk komik. Isinya tentang kepemimpinan. Jadi ini komik kepemimpinan. Inilah buku pertama saya dalam format komik! Tujuh tahun lalu ketika menulis buku pertama, saya sama sekali ngga punya gambaran akan menulis buku dalam format komik. Mengapa saya menulis dalam bentuk komik? Dari pengalaman berbicara di banyak sekolah dan puluhan kampus di seantero negeri ini, saya menangkap adanya kebutuhan untuk mempelajari kepemimpinan dengan cara yang lebih relevan untuk anak seusia SMA atau mahasiswa tingkat awal, salah satunya adalah dengan komik.
Nah, dibandingkan dengan buku-buku saya yang dulu tentu ada perkembangan luar biasa sebab ilmu, ketrampilan mau pun pengalaman saya terus berkembang. Saya juga terus belajar. Ikut pelatihan dan baca buku. Dan perkembangan itu terlihat jelas juga dalam buku-buku yang saya tulis. Misalnya dulu saya menulis buku hanya sebatas menginspirasi orang. Sekarang saya telah masuk lebih jauh lagi. Tidak hanya inspirasi tapi juga menyediakan sejumlah panduan praktis (how to). Nah, ini kan tanda saya terus bertumbuh.
Saya ingat nasihat mentor saya, seorang hamba Tuhan dan juga guru kepemimpinan, John C. Maxwell. Meski beliau telah dianggap sebagai guru kepemimpinan internasional (bahkan pada 2007 dinobatkan sebagai guru kepemimpinan paling berpengaruh di dunia oleh leadershipgurus.net) beliau masih terus belajar padahal beliau sendiri telah menulis lebih dari 60 buku kepemimpinan dan sebagian besar masuk kategori best seller internasional. Ia pernah berkata, “Saya berharap dapat terus bertumbuh hingga tiba hari saya berpulang.”
Jadi intinya, jangan suka menyanyikan lagu: Aku Masih Seperti Yang Dulu. Ingatlah, semakin kita bertumbuh semakin banyak yang bisa kita bagikan.
Bagaimana caranya agar kita tidak overestimate atau underestimate terhadap diri kita sendiri? Atau dengan kata lain, bagaimana caranya agar kita tidak terlalu ambisius atau justru terlalu pesimis?
Jadilah orang yang optimis realistis. Artinya cukup positif memandang masa depan dan punya harapan namun tetap mengukur kekuatan. Dengan kata lain, kita harus tahu siapa diri kita (potensi diri kita). Ungkapan bahwa “kalau kita percaya, kita bisa melakukan apa saja” tidak selalu tepat. Misalnya begini, saya suka bermain badminton. Kalau pada saat ini, saya katakan kepada Anda saya ingin jadi atlet badminton internasional tentu Anda akan menertawakan saya sebab usia saya sudah 34 tahun, stamina saya tentu tidak sekuat anak 20-an tahun, terus teknik bermain saya juga biasa-biasa saja. Saya bermain badminton hanya untuk menjaga kebugaran tubuh, bukan untuk meraih prestasi kejuaraan tertentu.
Oleh sebab itu, yang paling penting adalah tahu diri kita. Tahu kelebihan diri sekaligus kekurangan diri. Nah, kelebihan inilah yang kita maksimalkan. Kekurangan kita terima dan beberapa kekurangan kita benahi. Tapi yang menjadi fokus kita haruslah memaksimalkan kelebihan diri. Komik leadership yang saya tulis bukan saya yang gambar sebab kemampuan mengambar saya agak di bawah rata-rata. Saya menulis isinya (content) dan yang menggambar adalah Mike Kusika, seorang komikus muda terkenal di Bandung. Kami bersinergi sesuai kelebihan kami masing-masing.
Jadi, impian akan masa depan yang paling bagus adalah impian yang dibangun atas dasar pondasi yang kuat, salah satunya apakah impian itu ada kaitannya dengan potensi diri kita. Kalau saya memiliki potensi diri sebagai penyanyi, tentu akan baik jika saya memiliki impian sebagai penyanyi, bukan sebagai penulis.
Bagaimana kita mengukur apakah cita-cita kita itu realistis atau tidak?
Ini pertanyaan yang sangat menarik! Ada beberapa fakror yang perlu dipertimbangkan. Pertama, apakah impian itu sesuai dengan kita. Tanpa disadari terkadang kita berusaha mewujudkan impian orang lain. Misalnya jadi dokter karena orang tua yang pengen kita jadi dokter. Akhirnya kita tidak menikmati.
Kedua, apakah impian itu masih dalam kendali kita? Misalnya jika saya memiliki impian untuk memberantas korupsi tentu itu baik. Tapi saya memiliki akses yang sangat terbatas akan hal tersebut kan? Mungkin saya bisa berdemo atau menulis di media massa. Tentu ini juga upaya yang baik. Namun akan sangat berbeda jika saya adalah anggota KPK atau anggota parlemen yang bisa memperjuangkan perangkat hukum untuk pemberantasan korupsi.
Ketiga, apakah kita memiliki sumber daya yang cukup untuk mewujudkan impian kita. Sumber daya itu bisa pengetahuan, ketrampilan, pengalaman, jaringan (networking), dsb.
Maksud saya begini, ketika saya memiliki impian untuk menggelar seminar di angkasa, saya sama sekali tidak tahu harus mulai dari mana. Namun saya kemudian ingat, saya memiliki teman baik (Pa Eddy Efendy, seorang pengusaha travel yang sering membawa rombongan dari berbagai perusahaan untuk tour ke luar negeri).
Hubungan saya dan beliau baik. Dan pada suatu ketika saya share impian ini dengan beliau. Beliau antusias dan menyambut baik. Nah, sekarang impian saya menjadi impian kami bersama. Lalu, secara bersama-sama kami memperjuangkannya hingga terwujud sekitar 13 bulan kemudian. Kami tidak hanya menggelar seminar di angkasa tapi juga peluncuran buku di angkasa. Ini rekor dunia tapi saya waktu itu tidak ada niat untuk mengajukan ke Guiness Book of Record. Bagi saya mendapatkan penghargaan dari MURI (Museum Rekor Indonesia) sudah lebih dari cukup.
Pepatah mengatakan “gantungkan cita-citamu setinggi langit”. Bukankah itu tidak realistis? Misalnya, sejak kecil anak-anak dibiarkan saja punya cita-cita jadi presiden. Bayangkan ada berapa juta anak Indonesia yang cita-citanya jadi presiden lalu kecewa, karena yang benar-benar terujud jadi presiden Indonesia cuma 6 orang Indonesia (itupun waktu kecil belum tentu bercita-cita jadi presiden).
Makanya impian harus cukup realistis. Atau pun kalau mau tinggi harus dibuat berjenjang. Misalnya saya ingin jadi penyanyi internasional. Tentu saya mulai dari yang paling kecil dulu. Misalnya juaranya nyanyi di sekolah trus berlanjut juara di kota trus juara nasional, dan seterusnya. Bagi saya ini yang sudah dilakukan Agnes Monica. Bukankah sekarang dia sedang dalam proses go internasional?
Kalau kita menaruh keinginan yang terlalu tinggi, melampaui batas kekuatan kita, atau tidak realistis, bila tidak terujud apakah tidak justru membuat kita kecewa dan putus asa? Bukankah pepatah juga mengatakan jangan besar pasak daripada tiang?
Di sinilah pentingnya aspek spiritual. Kita boleh bermimpi, berjuang dan berdoa namun Tuhanlah yang menentukan apakah kita boleh meraih impian kita. Tuhan pulalah yang menentukan kapan waktu yang tepat. Sebagai manusia, just do our best!
Ada banyak juga impian saya yang belum terwujud tapi saya terus berjuang dan berdoa. Saya percaya kalau itu kehendak Tuhan, semua akan indah pada waktunya. Namun jika tidak terwujud, saya tetap percaya, asalkan saya sudah melakukan yang terbaik, apa pun yang Tuhan kasih, itu pasti yang terbaik. Jadi, dalam memperjuangkan sebuah impian, faktor spiritual penting sekali!