man tanpa perbuatan ibarat koran tanpa berita. Amat tidak menarik. NOL BESAR! Prof. Dr. Nurcholish Madjid pernah berkata, “Orang beriman tanpa beramal sama saja dengan omong kosong. Beramal tanpa berilmu pengetahuan juga tidak lengkap. Berilmu pengetahuan tanpa sikap yang tulus juga hampa. Jadi harus beriman, beramal, berilmu pengetahuan dan bersikap tulus! Keempatnya adalah satu paket, tak boleh dipisah-pisahkan!”
Saya amat setuju dengan apa yang dikatakan Cak Nur –demikian ia biasa disapa. Khusus mengenai berilmu pengetahuan mungkin dapat dipahami dengan contoh berikut. Ada orang kaya membagi-bagikan uang kepada orang susah. Itu perbuatan yang baik (beramal). Namun sayang, karena ia tidak berilmu pengetahuan yang baik, tanpa sepengetahuannya, uang itu dipakai untuk membakar rumah-rumah ibadah. Orang yang menerima uang itu ternyata provokator kerusuhan.
Maka, tak berlebihan kalau beberapa tahun belakangan ini amat gencar disuarakan doa bersama, dialog lintas agama dan lintas iman. Ini penting karena semua agama yang baik mengajarkan kebaikan dan merupakan jalan menuju Tuhan.
Namun di mata Dr. Victor Tanja, cendekiawan dan teolog Kristen Protestan, mustahil ada dialog teologis. Saya setuju sebab teologi itu amat eksklusif. Dialog teologis itu ibarat orang Sunda dan orang Jawa saling memaksakan arti istilah atos. Orang Sunda berpendapat atos artinya sudah atau telah selesai, sementara orang Jawa menganggapnya sebagai keras.
Ada cerita lucu tentang perdebatan mengenai atos tadi. Seorang perempuan berdarah Solo saat dirawat inap di RS Borromeus Bandung mengalami diare. Begitu keluar dari WC, seorang nenek menyapanya dalam bahasa Sunda. “Atos, neng?” tanya nenek yang sedari tadi antri. Dengan wajah cemberut, si perempuan tadi menjawab dengan nada agak tinggi, “Bagaimana mau atos, wong saya mencret – mencret kok!” Sang nenek pun bengong. Pikir dia, kurang ajar juga si anak perempuan itu. Disapa baik – baik malah mencak – mencak. Inilah salah satu bentuk miskomunikasi yang disebabkan salah penafsiran. Mungkin seperti itu pulalah jika memaksakan keyakinan kita kepada orang lain. Orang lain dipaksa memakai kacamata yang kita gunakan.
Dikutip dari buku KETIKA IA MENYAPAKU, Paulus Winarto, Obor. Informasi lebih lanjut, klik www.pauluswinarto.com