Orang – orang yang “malas” beribadah secara lahiriah sering berkomentar, “Aku memang tidak rajin sembahyang karena hidupku adalah doaku.” Lama sekali saya tidak memahami ucapan yang semula kedengaran amat konyol tadi, sampai suatu ketika saya membaca buku karya Romo Mangunwijaya berjudul RAGAWIDYA, Religiositas Hal-hal Sehari-hari. Sungguh, saya amat berutang budi terhadap romo yang telah menyadarkan saya itu.
Buku setebal 108 halaman itu memberikan gambaran bagaimana kita dapat melihat kegiatan sehari – hari dari kacamata iman, dari sisi yang berbeda. Melihat dengan mata hati. Kegiatan – kegiatan sepele mulai dari melihat, mendengar, berkata, menyanyi, ketawa, menangis, melamun, bernapas, berdiri, duduk, makan – minum hingga tidur, semuanya akan terasa amat lain jika dapat dihayati dalam cahaya iman.
Saya tentu tidak berkompeten untuk menjelaskannya secara detil atau mengutip terlalu banyak isi buku tersebut, sebab itu sama saja dengan menjiplak buku seorang yang amat saya kagumi dan hormati. Saya hanya ingin mengungkapkan kembali satu bagian dari buku tersebut yang amat menyentuh hati saya yakni mengenai kegiatan tidur.
Kegiatan tidur, kata romo dalam bukunya, adalah kegiatan yang kita lakukan tanpa adanya kesadaran. Seolah – olah kita kembali ke rahim ibu dulu tanpa merasa bahwa “aku hidup”. Yang amat menarik adalah pendapat romo bahwa tidur merupakan sumber iman dan kepercayaan kepada Tuhan.
Manusia yang tertidur lelap, tanpa rasa khawatir adalah manusia yang kaya akan anugerah. Sebab dalam tidur, kita sungguh sudah tak kuasa lagi atas diri kita. Tidur merupakan suatu sikap penyerahan total kepada segala apa pun yang dapat berbuat macam apa pun terhadap kita. Oleh karena itu, manusia yang tidur, secara langsung atau tidak langsung, sadar atau tidak sadar, sudah menyatakan kepercayaannya kepada semesta alam dan sesama manusia. Dalam keadaan tidur, kita tidak lagi melihat tapi dilihat. Tidak lagi mendengar tapi didengar. Tidak lagi menghidupi tapi dihidupi. Oleh siapa?
Kembali ke soal hidupku doaku, saya tidak sepenuhnya bisa menerima pendapat itu. Mengapa? Mungkin sebuah contoh bisa lebih menjelaskan maksud saya. Ada orang kaya membagi – bagikan uang kepada sekelompok orang miskin. Perbuatan orang kaya tadi baik tapi apa jadinya kalau uang itu akhirnya dipakai untuk mabuk – mabukan atau main judi. Atau bahkan digunakan untuk membakar rumah ibadah agama lain. Perbuatan baik dengan hasil tidak baik. Jadi, kita dituntut untuk bijaksana dalam melihat hidup ini agar tidak salah langkah nantinya.
Dikutip dari buku KETIKA IA MENYAPAKU, Paulus Winarto, Obor. Informasi lebih lanjut, klik www.pauluswinarto.com