Oleh: Paulus Winarto*

Show love in everything you do.

– The Book of Life

“Kalau ingin mendapatkan hasil yang lebih, Anda harus melakukan upaya yang lebih. Kalau ingin mendapatkan hasil yang berbeda, Anda harus melakukan usaha yang berbeda,” begitu bunyi nasihat bijak yang sudah ada sejak jaman dahulu kala.

Sayangnya, nasihat ini kerap diabaikan begitu banyak orang sehingga dari waktu ke waktu kehidupan mereka tetap sama saja. Penghasilan masih tetap sama -kalau pun ada kenaikan itu lebih karena sesuatu yang rutin atau dilakukan perusahaan secara berkala- atau karir seolah jalan di tempat atau bisnis yang omsetnya tetap segitu saja dari waktu ke waktu.

Melakukan upaya lebih atau usaha yang berbeda tentu tidak selalu membuahkan hasil namun tanpa upaya yang lebih atau usaha yang berbeda, kita sulit mengalami perubahan hidup. Sudah merupakan hukum alam, jika kita melakukan A hasilnya A. Sangat disayangkan banyak orang yang mengharapkan hasil B namun tindakannya masih A. Kalau pun tindakannya B maka itu biasanya hanya berlangsung untuk sementara waktu alias tidak konsisten karena tidak didukung oleh kebulatan tekad atau motivasi yang tinggi.

Muncul kemudian satu pertanyaan, bagaimana Anda dan saya bisa melakukan upaya yang lebih atau usaha yang berbeda? Tentu ada banyak cara. Salah satunya dengan cinta. Ya, cinta! Mungkin terdengar amat klise namun cinta tetaplah menjadi hal yang menarik bahkan bisa mengubah segalanya.

Buku kehidupan menegaskan bahwa cinta sanggup menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu dan sabar menanggung segala sesuatu. Bukankah banyak sekali karya-karya besar yang dihasilkan oleh cinta? Bukankah cinta yang membuat seorang ayah atau ibu rela berkorban habis-habisan demi masa depan dan kebahagiaan anak-anaknya?

Saya sendiri pernah mendengar kisah seorang anak kecil yang mengemis agar kakak perempuannya bisa terus bersekolah. Hati saya begitu terharu mendengar kisah tersebut. Secara pribadi, saya termasuk orang yang percaya bahwa memberi uang kepada anak-anak jalanan bukanlah solusi terbaik. Justru terkadang hal itu akan membuat mereka semakin malas dan bisa jadi akan membuat semakin banyak anak yang berniat untuk turun ke jalanan, entah karena keinginan sendiri atau dipaksakan orang tuanya hingga dimanfaatkan para “mafia” jalanan. Kasihan!

Tetapi mendengar kisah anak kecil tersebut yang rela melakukan sesuatu demi orang yang dicintainya (yakni kakaknya sendiri), membuat saya semakin tersadar akan kekuatan cinta (the power of love).

Love in daily Life

Dalam hidup ini, kerap kali kita bisa melihat apakah seseorang sungguh bekerja dengan hatinya (alias karena cinta) atau sekedar butuh uang demi menyambung hidup. Seorang sopir taksi di Bandung, suatu kali menceritakan kepada saya awal mula kisah perubahan sikapnya mengenai pekerjaan.

Sore itu, seperti biasa, saya nge-tem di dekat Pintu Tol Pasteur, Bandung. Maklum, biasanya ada saja penumpang yang naik karena di daerah itu lewat banyak travel jurusan Bandara Soekarno Hatta (Jakarta) – Bandung. Nah, begitu tiba di Bandung, para penumpang travel ada yang suka berhenti di situ untuk melanjutkan perjalanannya untuk mencari alamat rekan atau rumah kerabatnya di Bandung dengan menggunakan taksi.

Sore itu hujan cukup lebat dan turunlah seorang bapak. Waktu itu saya memilih berdiam saja di dalam taksi, setelah saya membuka bagasi dengan tombol otomatis dari dalam mobil. Ada perasaan malas untuk turun dan membantu Si Bapak memasukkan barang bawaannya yang cukup banyak ke bagasi.

Setelah semua barang masuk ke bagasi, Bapak tersebut langsung masuk ke mobil dan duduk di bagian belakang. Jaket, rambut dan mukanya basah terkena air hujan. Saya kemudian menanyakan tujuannya dan kami langsung berangkat. Sepanjang perjalanan, Bapak tersebut sibuk menelpon dan sms. Mungkin dia seorang bos.

Begitu masuk jalan kecil menuju rumah si Bapak, tiba-tiba ada ojek dari arah depan menghantam spion kanan mobil hingga kacanya hancur. Tukang ojek tersebut langsung kabur. Saya begitu panik. Tampaknya Si Bapak tenang saja, bahkan kemudian menegur saya, “Pa selesaikan dulu kewajiban Bapak mengantarkan saya ke tempat tujuan.”

Saya hanya bisa mengurut dada, mengingat untuk mengganti spion itu saja butuh dana sekitar Rp 200.000. Hal itu saya sampaikan kepada Bapak tersebut. Sejenak ia menghela napas, lalu berkata, “Pak sekiranya saja tadi Bapak membantu saya memasukkan barang ke bagasi, mungkin hal ini tidak terjadi. Tapi sudahlah… Kita tidak bisa kembali ke masa lalu kan? Sore ini Bapak dapat hikmah berharga dari Yang Maha Kuasa.”

Dari situ saya kemudian tersadar bahwa saya bersalah. Yang betul-betul membuat saya malu adalah ketika turun, beliau memberikan saya uang Rp 100.000 padahal argonya tidak sampai Rp 34.000. “Sisanya ambil saja Pak. Anggap saja saya ikut sedikit menanggung kerugian Bapak ya. Lain kali, jangan kerja pas banrol ya, Pak. Kalau Bapak mau memberikan yang terbaik, sekali pun itu bukan kewajiban Bapak, maka penumpang pun akan dengan ikhlas memberikan bonus ke Bapak kan,” katanya sambil tersenyum dan menyalami saya.

Ketika Si Bapak turun dari taksi, dengan sigap saya turunkan barang-barangnya. Keadaan ini sangat bertolak belakang dengan ketika Beliau naik tadi. Dengan mata kepala sendiri saya melihat bagaimana harmonisnya hubungan keluarga itu. Istri dan kedua anaknya langsung menyambut Si Bapak di halaman rumah. Ia langsung memeluk dan mencium kedua anaknya serta menyalami istrinya.

Saya lalu menyalami istri Bapak tersebut sambil berujar, “Maafkan saya, Bu. Tadi saya tidak bantuin Bapak…” Istri Si Bapak tampak bengong saja. Mungkin dia bingung.

Peristiwa sore itu menjadi pelajaran berharga bagi saya agar di kemudian hari saya harus lebih sungguh-sungguh dalam bekerja agar saya bisa mendapatkan hasil yang lebih baik. Sungguh, Tuhan telah menegor saya lewat musibah sore itu. Untung hanya spion yang pecah.

Secara pribadi, saya pun belajar satu hal dari pengalaman pribadi sang supir taksi tersebut. Apa pun yang kita lakukan, lakukanlah dengan penuh kesungguhan. Tidak berlebihan jika banyak sekali guru spiritual yang selalu mengingatkan bahwa pekerjaan pun adalah sebuah ibadah jika kita melakukannya dengan sepenuh hati.

Cerita yang berbeda saya temui ketika saya mengajak istri dan anak makan siang di sebuah restoran siap saji yang berada satu gedung dengan sebuah supermarket, di kawasan Dago, Bandung, beberapa waktu lalu. Saat itu, saya melihat, seorang petugas keamanan (security) yang ikut membersihkan meja-meja kotor di meja dan memasukkannya ke keranjang sampah khusus makanan sisa.

Pak Mulyadi, begitu namanya begitu antusias dalam bekerja. Padahal itu bukan tugasnya (job description). Penuh rasa penasaran, saya bertanya, “Bapak ini rajin sekali ya. Padahal Bapak kan bukan cleaning service atau pelayan restoran?”

Sambil tersenyum, dia menjawab, “Biar cepat aja, Mas. Biasanya banyak orang sehabis berbelanja di supermarket akan singgah makan di sini. Nah, kalau mejanya masih kotor, mereka biasanya ngga jadi makan di sini. Risih kan duduk di meja yang belum dibersihkan?”

Saya kemudian berkomentar, “Ah, kalau saja banyak orang seperti Bapak di negeri ini, Indonesia pasti cepat maju ya, Pak.” Lagi-lagi ia hanya tersenyum.

Ah, betapa indahnya hidup ini, jika kita mau melakukan segalanya dengan sepenuh hati dilandasi cinta yang tulus. Cintailah sesama manusia, cintailah keluarga Anda, cintailah sesama rekan kerja Anda, cintailah konsumen Anda (karena sesungguhnya merekalah yang menggaji Anda melalui perusahaan Anda).

Saya lalu teringat sebuah lagu berjudul Karena Cinta yang dibawakan dengan begitu merdu oleh Joy Tobing, “Dan bila aku berdiri… tegar sampai hari ini. Bukan karena kuat dan hebatku. Semua karena cinta. Semua karena cinta. Tak mampu diriku, dapat berdiri tegar. Terima kasih cinta.”

So, do all your work in love!

* author, trainer and teacher. Beralamat di www.pauluswinarto.com atau pwinarto@cbn.net.id.