Oleh: Paulus Winarto *
A mentor is a brain to pick, a shoulder to cry on and a kick in the seat of the pants.
– John Crosby
Wajah lugu nan polos itu kelihatan makin pucat. Dengan gugup, berkali-kali terucap kalimat yang sama, “Jangan saya, Pak. Yang lain saja!” Itulah pengalaman ketika saya pertama kali menugaskan staf baru di toko untuk pergi menyetor uang di bank. Memang, ia sama sekali tidak pernah melakukan transaksi dengan bank.
Anton Kamidun Widodo, begitulah namanya. Ia hanyalah pemuda lulusan sebuah sekolah menengah dari sebuah kecamatan di Kediri. Sama sekali belum mempunyai pengalaman kerja. Saya merekrutnya melalui staf lama yang merupakan teman sekampungnya.
Ketika melihatnya untuk pertama kali, saya langsung tahu bahwa anak ini kurang percaya diri (PD). Entah mengapa saat itu, terbesit ide untuk menyuruhnya ke bank. Beberapa menit kami bernegosiasi, ia kemudian memelas dan meminta belas kasihan, “Jangan saya, Pak. Kalau pun saya, lain kali saja. Saya belum siap!”
Dengan nada tegas dan sedikit acting, saya pun berujar, “Ah, tidak bisa. Harus kamu dan harus sekarang! Kalau kamu ngga pergi sekali, kamu ngga akan pergi dua kali, tiga kali dan seterusnya!” Dalam keadaan terpojok, saya menjelaskan langkah-langkah yang harus dilakukannya di bank. Setelah itu, ibarat prajurit yang kalah perang, ia pun melangkahkan kakinya dengan lemas.
Sekembalinya dari bank, saya mengajaknya bicara dari hati ke hati, “Ada yang aneh di bank?” Dengan pasti ia menjawab, “Tidak ada, Pak”. “Ya, bagus! Gitu, dong,” kata saya. Pengalaman sederhana keluar dari zona nyaman ini tampaknya membantu Anton makin PD.
Beberapa bulan kemudian, saya kemudian menawarinya untuk ikut kursus dasar komputer dengan biaya dari saya. Penuh antusias ia menjalaninya. “Yang ikut kursus bareng saya ada satu sarjana. Sebetulnya ia hanya butuh sertifikat pernah kursus komputer. Ngetiknya sudah lancar banget kalau saya masih mencari-cari huruf di keyboard,” ujarnya dengan wajah polos yang mengundang gelak tawa.
Suatu ketika, saya pernah meminta Anton untuk mengetik naskah sekitar 20 halaman sebagai bagian melatihnya. Siapa sangka ia salah pencet sehingga tugas yang hampir diselesaikannya itu hilang semua. Sebuah pengalaman lucu namun berkesan. Namanya juga proses belajar, pasti ada jatuh-bangunnya.
Melihat potensinya, saya kemudian memintanya untuk menjadi asisten dalam berbagai acara seminar atau training. Selain mengoperasikan laptop, sesekali saya memintanya untuk memimpin games. Untuk pertama kali, tampak sekali ia gemetar sambil memegang kertas panduan permainan. Suara yang keluar pun terasa getarannya.
Saya pun kerap mengajaknya saat seminar di gereja. Penuh kesadaran bedanya keyakinan kami, saya tidak pernah memaksanya untuk berada dalam gedung gereja saat ritual ibadah (atau pujian penyembahan) sebelum dimulainya acara seminar. Biasanya ia baru masuk saat sesi saya akan dimulai.
Hal ini rupanya sempat mengusik Anton secara pribadi. “Pak, tampaknya saya tidak bisa ikut kalau acara Bapak di gereja. Teman-teman saya bilang kalau itu bisa merusak keyakinan saya,” ujarnya suatu ketika. Saya sangat menghargai pendapatnya yang penuh keterusterangan itu.
Tidak berselang lama, ketika kami akan masuk ke sebuah kompleks Pondok Pesantren di Bandung yang secara rutin mengundang saya untuk mengajar, saya berkomentar singkat, “Ton, sekarang saya akan masuk ke tempat yang berbeda dengan keyakinan saya. Bagi saya, berbuat baik bisa di mana saja.” Barangkali pengalaman ini sedikit banyak bisa mengikis “fanatisme” dalam dirinya.
Anton terus bertumbuh dan itu membuat saya bangga plus bahagia. Yang mengejutkan adalah ketika kami diminta untuk memberikan pelatihan kepada para staf sebuah bank asing. Anton dengan beraninya meminta nomor handphone salah satu staf bank tersebut. Selama beberapa waktu ke depan, ia rupanya rutin mengirimkan sms (seringnya berisi kata-kata bijak) kepada teman baru tersebut dan mendapat respon positif. Suatu kali, wanita yang notabene sarjana itu membalasnya dalam bahasa Inggris dan sontak Anton langsung meminta saya menerjemahkannya, ha.. ha… ha.
Pengalaman terbang pertama kali bersamanya juga sangat unik. Dia begitu takut mati. Saat itu saya memintanya menyusul ke hotel tempat saya dan istri menginap di Bandara Soekarno Hatta. Dari jendela kamar hotel, terlihat pesawat yang naik turun hanya dalam hitungan beberapa menit. Ia sedikit lega.
Di Bali, selain membantu mengoperasikan laptop, Anton juga berjualan buku-buku saya setelah sesi. Malam pertama, lebih dari setengah koper buku terjual. Menjelang malam kedua, Anton meyakinkan saya, “Saya pastikan malam ini semua buku terjual habis!” Dan terjadilah apa yang diyakininya itu.
Waktu terus berlalu, sampai suatu ketika di dalam mobil, ia berkata, “Pak saya mau bilang sesuatu.” Dari nadanya saya tahu ini adalah hal yang sangat serius. “Kalau tidak kenal Bapak, mungkin hari ini saya hanya jadi supir truk. Terima kasih atas semuanya itu.” Mata saya berkaca-kata.
“Dalam waktu dekat, saya mau buka usaha sendiri,” sambung Anton. Memang, beberapa bulan terakhir ia serius mempelajari seluk-beluk bisnis pecel lele dari Mas Farkhan, tukang pecel lele dekat toko. Saya pun memberikan restu. Memang ada rasa kehilangan ketika ia pergi, namun di sisi lain ada perasaan puas sekaligus perasaan bermakna. Inilah buah mentoring.
Bisnis yang ditekuni Anton bersama sang kakak tentu penuh lika-liku. Terakhir saya mendengar kabar kalau bisnis itu diteruskan oleh sang kakak bersama istrinya. Anton sendiri memilih untuk merantau ke Kalimantan dan bekerja di sebuah perusahaan telekomunikasi.
Terus berjuang untuk hari esok yang lebih baik karena sukses adalah sebuah perjalanan. Maju trus, Ton! ***
* Best Selling Author, Motivational Teacher and Leadership Trainer. Klik www.pauluswinarto.com.