Oleh: Paulus Winarto *

the-difference-between-a-boss-and-a-leader-44944-nxfte7           

A leader can be anyone who has a desire to make a difference: willingness to serve, humility to learn and and the capacity to love.

–          John C. Maxwell

Lupa! Kata itu barangkali bisa menjadi salah satu pembelaan diri dari para politisi yang terpilih dalam pemilu. Seorang teman pernah melontarkan candaan, apa perbedaan antara Pil KB dan Pilkada? Katanya pil KB “kalau lupa, dia jadi” sedangkan Pilkada, “kalau jadi, dia lupa”.

Lupa akan janji saat kampanye (over promise under deliver) yang sebenarnya merupakan bagian dari promosi diri agar menarik perhatian publik, bukanlah hal yang baru. Saking seringnya, publik pun terkadang menjadi apatis. Adanya golput barangkali membuktikan bahwa program pemasaran anti-golput tidak selalu berhasil.

Susahnya mencari pemimpin yang mau melayani sesuai janji kampanye telah menggeruskan kepercayaan publik kepada para pemimpin. Iklan di TV yang begitu indah seringkali hanya menjadi slogan kosong belaka sebagai pemanis bujuk rayu sesaat.

Dalam sebuah acara dinner dengan  Bernard Lokasasmita, Senior Vice President Bank Permata, kami sempat berbincang-bincang tentang sulitnya  mencari the servant leaders, tidak hanya di dunia politik namun dalam dunia korporasi bahkan keluarga.  Berikut ada beberapa poin yang menarik yang menurut kami menjadi penyebabnya.

Pertama, soal mindset. Tidak sedikit yang masih menganggap bahwa posisi kepemimpinan adalah kesempatan untuk berkuasa dan memerintah orang lain. Padahal semakin tinggi tingkat kepemimpinan seseorang, semakin besar tanggung jawab yang dipikulnya. Dengan kata lain, seorang pemimpin sejati haruslah bersedia menukar rights dengan responsibility.

Pekerjaan memang bisa didelegasikan namun tidak demikian dengan tanggung jawab. Seorang pemimpin sejati kehilangan hak untuk memikirkan diri sendiri dan pada saat bersamaan mendapatkan hak istimewa untuk memikirkan orang banyak. Jika Anda seorang kepala keluarga maka Anda kehilangan hak memikirkan diri sendiri sekaligus mendapatkan hak istimewa untuk memikirkan segala sesuatu menyangkut keluarga Anda, termasuk masa depan keluarga Anda (vision).

leadershippyramid

Guru kepemimpinan, John C. Maxwell memberikan ilustrasi sederhana berupa The Leadership Pyramid. Semakin tinggi tingkat kepemimpinan seseorang, maka pilihan dan haknya semakin terbatas.  So, a servant leader serves the mission and leads by serving those on the mission with him.

Kedua, krisis keteladanan. Mark Twain menyimpulkan, “To do what is right is wonderful. To teach what is right is even more wonderful –and much easier.”  Dalam budaya Jawa dikenal istilah jarkoni, iso ngajar ora iso ngelakoni (bisa mengajar namun tidak menghidupinya).

Sebuah survei yang dilakukan Opinion Research Corporation terhadap para pekerja di Amerika menemukan bahwa memimpin dengan teladan (leading by example) adalah karakteristik yang paling penting dan paling mereka harapkan dari pemimpin mereka. Disusul dengan strong ethics or moral, knowledge of business, fairness, overall intelligence and competence, recognition of employees.  

Semangat untuk melayani harus dimulai dari lapisan atas. People do what people see! Seorang pemimpin yang tidak ragu untuk blepotan, mau turun ke bawah (blusukan) dan mendengarkan beragam keluhan serta masukan tentu akan menjadi inspirasi dan teladan bagi anak buahnya.

Dengan sering turun ke bawah ini akan mendapatkan input yang sangat berharga sebagai bekal dalam mengambil keputusan. Bandingkan dengan pemimpin yang hanya bisa duduk manis di kantor dan menunggu laporan anak buah yang terkadang cenderung ABS (Asal Bapak Senang). Bukankah kredibilitas seorang pemimpin seringkali justru datang dari kemampuannya untuk menjawab kebutuhan dan menyelesaikan masalah yang ada dan itu dimulai dari sikap mau mendengarkan?

Ketiga, kompetisi yang sangat ketat bercampur pola pikir instant bisa berdampak pada menghalalkan segala cara. Di jaman serba hiper-kompetitif ini, values menjadi bagian yang sangat penting demi kelangsungan bisnis jangka panjang. Tanpa values yang kuat dan diterapkan secara konsisten, bisa jadi orang akan cenderung menghalalkan segala cara demi tercapainya sebuah tujuan.

Tanpa values, proses kemudian menjadi sesuatu yang tidak lagi penting. Yang diukur semata-mata adalah hasil akhir (target). Tabrak sana tabrak sini, bahkan mengorbankan anak buah demi kejayaan diri menjadi hal yang lumrah. Sulit rasanya menemukan pemberdayaan yang sehat, apalagi budaya untuk mengembangkan pemimpin baru di organisasi semacam ini. Mengerikan!

Akhirnya saya teringat sebuah nasihat klasik, “Whosoever will be great among you, let him be your servant.”  Bagaimana menurut Anda? ***

* Author, Motivational Teacher, Leadership Trainer & Coach The John Maxwell Team. Beralamat di www.pauluswinarto.com.

 

–