Oleh: Paulus Winarto *

 man-silhouette-1245650_960_720

Good management of bad experiences leads to great growth

– The Law of Pain by John C. Maxwell

 

Beberapa bulan awal di tahun 2017 ini saya lebih serius memantau berita, terutama setiap hari Selasa. Tahukah Anda, ada apa setiap hari Selasa, beberapa bulan terakhir ini? Sidang kasus penodaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, Sang Gubernur Petahana DKI Jakarta.

Sebagian dari Anda mungkin sama seperti saya. Sama-sama tidak pernah menduga bahwa ucapan Ahok di Kepulauan Seribu, bisa “digoreng” sedemikian rupa hingga sebesar saat ini. Begitu banyak demo yang terjadi dan melibatkan massa dalam jumlah yang sangat besar. Belum lagi saling lapor antar berbagai pihak. Seolah-olah mereka menjadi sangat sensitif. Mudah marah dan terpicu. Kadang saya berpikir, berapa banyak sudah dana dan energi yang terkuras untuk hal satu ini.

Saya bukan ahli hukum, jadi saya tidak mau masuk ke bahasan segi hukum. Yang ingin saya soroti adalah perubahan sikap dan  tutur kata perilaku Ahok. Jika diamati lebih jauh, ia cenderung lebih kalem dan tidak meledak-ledak seperti dulu. “Namanya juga Ahok versi baru,” kata Ahok kepada para pendukungnya di Rumah Lembang, Menteng, Jakarta Pusat, akhir 2016, sebagaimana dikutip dari kompas.com.

Ahok mengakui tengah berupaya memperbaiki sikapnya, seperti mulai menggunakan kata-kata yang halus dan menghindari kata-kata yang kasar. Upaya perubahan penuh komitmen ini dilakukannya agar menjadi lebih baik lagi. Rupanya masukan dari begitu banyak pihak sungguh didengarkan mantan Bupati Belitung Timur itu. Mengapa Ahok harus berubah? “Orang suka ‘memelintir-melintir’ kalimat saya, subtansinya enggak disebutin, keluarnya cuma yang kasarnya itu,” ujar Ahok.

Menurut suami Veronica Tan, hal terpenting yang harus dilakukannya saat ini adalah mau menerima saran dan teguran dari orang lain. “Manusia kalau ditegur harus bisa berubah, itu yang lebih penting karena setiap orang bisa khilaf,” ucapnya.

Kemauan untuk berubah ke arah yang lebih baik memang hal yang bagus. Namun itu tidak terjadi dengan sendirinya. Orang-orang yang memiliki mental sebagai korban, merasa benar sendiri atau merasa tahu segalanya, seringkali adalah orang-orang yang paling sulit berubah.

Mereka yang merasa menjadi korban cenderung akan selalu menyalahkan segala sesuatu atau siapa pun di luar diri mereka. Alhasil, mereka gagal mengambil tanggung jawab untuk berubah. Mereka yang merasa benar sendiri atau merasa tahu segalanya cenderung menutup diri terhadap hal-hal yang dianggap bisa menganggu apa yang sudah mereka yakini selama ini. Singkat kata, mereka cenderung keras kepala!

Dalam perspektif yang lebih luas, orang-orang yang tidak mau berubah sebenarnya sedang menutup diri terhadap potensi masa depan yang lebih baik serta menutup diri terhadap berbagai kesempatan emas yang mungkin saja hadir di saat-saat tertentu. Sayangnya, hal ini seringkali tidak disadari.

Dalam hal Ahok merubah sikap, saya mengamati ada satu unsur penting yang mendasari perubahan itu yaitu kerendahan hati (humility). Rick Warren mengatakan kerendahan hati datang dari 4 unsur penting, yakni:

  1. Mengakui kelemahan diri (admitting our weaknesses).
  2. Bersabar atas kelemahan orang lain (being patient with others’ weaknesses).
  3. Terbuka untuk dikoreksi (being open to correction).
  4. Mengakui kelebihan orang lain (pointing the spotlight at others).

Sayangnya, sikap terbuka untuk dikoreksi seringkali baru muncul ketika seseorang kena batunya. Misalnya terkena teguran keras atau sanksi yang sungguh menyakitkan. Persis yang diungkapkan John Maxwell dalam buku The 5 Levels of Leadership.

Change occurs in people’s lives when they …

Hurt enough that they have to (Pain and Adversity),

Learn enough that they want to (Education and Experience), or

Receive enough that they are able to (Support and Equipping).

Terjemahan bebasnya adalah:

Perubahan terjadi dalam kehidupan manusia manakala mereka …

Cukup terluka sehingga mereka harus berubah (Rasa Sakit dan Kesulitan Hidup),

Cukup belajar sehingga mereka ingin berubah (Pendidikan dan Pengalaman), atau

Cukup menerima sehingga mereka sanggup berubah (Dukungan dan Pelatihan).

Ya, cukup terluka yang ditandai rasa sakit atau kesulitan hidup kerap kali menjadi obat manjur bagi perubahan diri. Saya teringat kisah seorang sahabat yang pernah terjerumus dalam gelapnya dunia narkoba. Berkali-kali, istri tercinta berusaha penuh kelemahlembutan mengingatkan sang suami untuk meninggalkan barang haram tersebut. Sayangnya, nasihat demi nasihat yang diberikan ibarat masuk telinga kiri, keluar telinga kanan. Pertengkaran demi pertengkaran tidak juga membuat sang suami jera.

Suatu ketika, dalam rangka kenaikan jabatan, sang suami harus menempuh jenjang pendidikan tertentu. Menjelang kelulusan, para peserta didik diminta melakukan tes narkoba. Apa mau dikata, rahasia gelap pun terbongkar dan kelulusannya menjadi terhambat.

Penuh linangan air mata, sang suami berdoa di kamarnya. Muncul rasa bersalah yang sangat dalam. Perlahan namun pasti, lahirlah kesadaran, “Karir saya sudah berakhir. Jangan sampai keluarga saya ikut berantakan.” Sang suami juga teringat kata-kata sang istri, “Kalau Mas ngga juga berubah, jangan sampai suatu hari nanti Mas nyari saya dan anak-anak.” Momen ini menjadi salah satu titik balik terbesar dalam hidupnya.

Hari ini, ia hidup bahagia bersama keluarganya. Hubungan dengan istri dan anak-anaknya semakin harmonis. Karirnya pun terus menanjak. Ia mengalami transformasi hidup. Sebagai sahabatnya, tentu saya ikut bahagia. ***

 

* Best Selling Author, Motivational Teacher, Leadership Trainer & Coach The John Maxwell Team. Klik www.pauluswinarto.com.