Oleh: Paulus Winarto *
Besi menajamkan besi, orang menajamkan sesamanya.
– King Solomon
Apa penyebab utama kejatuhan seorang pemimpin atau seorang tokoh yang sangat dikagumi? Tentu ada bermacam-macam jawaban. Namun ada satu hal yang kerap kali menyebabkan kejatuhan seorang pemimpin atau tokoh yaitu tidak mau lagi dikoreksi. Implikasi pemimpin atau tokoh seperti ini tidak lagi bersedia untuk terus belajar dan memperbaiki diri.
Situasi ini biasanya bermula dari popularitas atau track record seorang pemimpin atau tokoh yang terus menanjak. Seiring dengan semakin terkenal ia pun memiliki banyak pengagum (fans) di mana-mana. Beragam pujian dan sanjungan yang diterima jika tidak disikapi dengan bijak bisa membawa dampak yang tidak baik dalam jangka panjang.
Memang ada orang yang senang dipuji. Ada juga yang dipuji senang. Orang-orang yang senang dipuji cenderung akan berupaya agar apa yang dilakukannya mendapatkan sanjungan dari orang lain. Saya kerap kali menyebut orang seperti ini terkena sindrom sudibilheb (suka dibilang hebat).
Sebaliknya orang yang dipuji senang lebih berorientasi pada berkarya dan senantiasa memberikan yang terbaik. Jika kemudian apa yang dilakukannya mendapatkan pujian atau penghargaan, ia cenderung melihatnya sebagai bonus dari upaya kerasnya tersebut.
Pujian yang datang bertubi-tubi memang kerap menjadi pedang bermata dua. Ia bisa memacu seseorang untuk terus meningkatkan prestasi dan kualitas diri atau justru membuat seseorang menjadi lupa diri. Ya, lupa diri bahwa ia juga manusia yang sewaktu-waktu bisa juga berbuat kekeliruan atau kesalahan, baik disengaja maupun tidak disengaja.
Saya kemudian teringat akan nasihat Isa Almasih, “Celakalah kamu, jika semua orang memuji kamu.” Nasihat ini mengandung unsur agar kita juga bersikap bijak terhadap pujian yang datang. Kita tidak pernah tahu persis motivasi seseorang ketika memuji, apakah itu tulus, sekedar menyenangkan hati kita atau –mohon maaf- bermaksud “menjilat”.
Bagaimana menyikapi pujian dengan bijak? Tentu ini memerlukan sebuah proses pembelajaran dan pendewasaan diri. Salah satu cara yang bisa kita tempuh adalah memperhatikan lingkaran dalam kita, orang-orang yang paling dekat dengan hidup kita. John C. Maxwell mengungkapnya dengan sangat indah, “A leader’s potential is determined by those closest to him!”. Ya, potensi seorang pemimpin akan ditentukan oleh orang-orang terdekatnya.
Setiap pemimpin memerlukan hubungan yang sehat dalam hidupnya yang akan memberikannya dukungan positif. Mengapa? Karena setiap manusia, termasuk para pemimpin, tentu memiliki kelemahan dan kekurangan (blind spots). Pujian kadang bisa sungguh memabukkan dan pemimpin bisa terjebak pada kondisi merasa dirinya sempurna, tak bercela, suci dan paling bijak.
Orang-orang terdekat pemimpin meliputi para mentor, para model yang bisa dijadikan teladan, para rekan kerja dan para pengikut. Selain itu, masih ada satu yang sering kali dianggap tidak penting bahkan kerap diabaikan yaitu mitra akuntabitas (accountability partner).
Para mitra akuntabilitas pemimpin ini bisa saja sekaligus rekan kerja, mentor atau sahabat di luar ruang lingkup pekerjaan. Yang paling penting mereka adalah orang-orang yang mengenal kita dengan sangat baik, sungguh mencintai kita apa adanya (unconditional love) dan selalu ingin yang terbaik untuk kita. Mereka memotivasi kita untuk terus menjaga setiap komitmen yang telah kita buat. Mereka mengkritik kita dengan motif yang murni demi kebaikan kita.
Ketika berada dekat dengan mereka kita selalu merasa nyaman sekalipun terkadang mungkin kita bisa sedikit terusik akibat pertanyaan-pertanyaan tajam (hard questions) yang mereka ajukan berkenaan dengan perilaku atau tindakan kita. Tidak hanya menyangkut profesionalisme kerja tapi juga kehidupan pribadi, kehidupan berumah tangga hingga kehidupan spiritual. Misalnya saja mereka akan bertanya:
- Mengapa Anda melakukan hal tersebut?
- Tahukah Anda bahwa hal tersebut tidak baik?
- Ingatkah Anda akan komitmen semula yang telah Anda buat?
- Apakah Anda sudah siap dengan konsekuensi dari tindakan Anda?
Secara pribadi, saya memiliki beberapa mitra akuntabilitas dalam hidup saya. Mereka adalah hadiah dari Tuhan kepada saya. Saya senantiasa berusaha memelihara hubungan baik dengan mereka. Kami juga saling berperan sebagai mitra akuntabilitas satu sama lain. Bahkan kami saling mendokan. Terkadang ketika mereka menegur, terucap kalimat seperti ini, “Lus, kamu salah! Kamu ngga boleh gitu karena itu tidak baik.” Uniknya, tidak ada perasaan sakit hati sebab saya tahu semuanya itu demi kebaikan saya. Tidak ada yang perlu saya sembunyikan dari mereka.
Mencari Mitra Akuntabilitas
John C. Maxwell memberikan beberapa pedoman penting ketika kita akan mencari mitra akuntabilitas dalam hidup kita. Beberapa kualitas ini hendaklah ada dalam diri mitra akuntabilitas, yaitu:
- Probing (mencari tahu): mereka menanyakan pertanyaan-pertanyaan untuk mencari tahu dan menggali lebih dalam atas suatu kondisi tertentu atau tindakan yang Anda lakukan.
- Authentic (otentik): mereka jujur dan tulus (honest and genuine) terhadap kelemahan diri mereka. Apa adanya, bukan ada apanya. Mereka tidak melakukan pencitraan agar terkesan sempurna.
- Challenging (menantang): mereka menolong Anda untuk terus bertumbuh menjadi lebih baik dan meraih potensi maksimal Anda.
- Trustworthy (bisa dipercaya): mereka menghargai keterbukaan dan kejujuran Anda serta dapat menyimpan rahasia.
Para akhirnya mitra akuntabilitas akan membuat seorang pemimpin tidak hanya bisa bertanggungjawab tapi juga mampu mempertanggungjawabkan. Apa bedanya? Ketika seseorang melaksanakan tugas dan kewajibannya dengan sepenuh hati maka ia disebut orang yang bertanggung jawab. Manakala ia bisa membuktikan bahwa ia telah melaksanakan tugas dan kewajiban tersebut dengan baik, ia disebut orang yang bisa mempertanggungjawabkan.
Pertanyaannya, siapa saja mitra akuntabilitas dalam hidup Anda? ***
* Best Selling Author, Motivational Teacher, Leadership Trainer & Coach The John Maxwell Team. Klik www.pauluswinarto.com.