Oleh: Paulus Winarto *
Adakah hal di dunia ini yang lebih membahagiakan daripada mendengarkan langsung ungkapan kasih dari orang-orang yang paling dekat di hati Anda kepada Anda?
– Paulus Winarto
Rasa capek itu rasanya hilang seketika. Debaran jantung berselimutkan rasa haru membuat mata ini berkaca-kaca. Suara itu berbicara dengan begitu lembut, “Papa aku bikin puisi buat papa. Aku baca ya, Papa?” Tidak mampu berkata-kata banyak, saya hanya menjawab, “Iya, Sayang.”
I love dad
Papa kau adalah papa yang baik
Sayangku pada papa tidak berhenti
Papa adalah guruku yang terbaik
Untuk: papa
Kejadian Sabtu malam itu (29 September 2012) menggoreskan kenangan indah di hati saya sebagai seorang ayah. Malam itu saya sedang dalam perjalanan dari Bandara Soekarno Hatta, Tangerang menuju rumah di Bandung. Seperti biasa, di tengah perjalanan saya biasanya menelpon keluarga saya.
Sabtu itu sebenarnya aktivitas saya cukup padat. Fisik ini pun terasa lelah apalagi malam sebelumnya saya kurang tidur. Pagi hingga siang hari itu saya memberikan pelatihan tentang team engagement untuk BCA Makassar dilanjutkan dengan memberikan pelatihan kepada sejumlah pendeta hingga sore hari. Begitu usai acara, langsung menuju Bandara Sultan Hasanuddin Makassar.
Puisi yang ditulis Priscilla Natali Winarto di whiteboard yang terpajang di ruang keluarga itu adalah ungkapan tulus dari hati kecilnya. Ada ungkapan syukur di hati kecil ini karena Priscilla yang saat ini duduk di kelas 2 sekolah dasar sungguh bisa merasakan kasih yang saya berikan kepadanya dan mengungkapan kembali kasihnya kepada saya. Puisi itu jauh lebih berarti dibandingkan berbagai penghargaan yang saya dapatkan –sekalipun suatu ketika ada penghargaan Father of the Year!
Di mata Priscilla, papanya adalah juga seorang guru. Ia selalu senang jika saya menemaninya belajar, terutama belajar Bahasa Inggris. Saya selalu membuatkannya ringkasan dan latihan soal. Masih teringat ketika saya karena kesibukan harus pulang agak malam. Meski malam itu, mamanya telah menemaninya belajar Bahasa Inggris untuk ujian esok harinya, ia tetap menunggu saya dan berkata, “Papa, aku nungguin papa dari tadi.”
Sebagai orang tua, kita selalu mengatakan bahwa kita mengasihi anak-anak kita? Namun pernahkah kita mengajak mereka berbicara dari hati ke hati dan bertanya, apakah sebagai anak-anak kalian sungguh merasa dikasihi? Mengasihi anak dan anak merasa dikasihi terkadang menjadi dua hal yang betul-betul berbeda.
Tidak ada ayah yang sempurna, begitu pun dengan saya. Dengan jujur saya harus mengakui bahwa terkadang saya terlalu keras dan kaku. Tidak berlebihan, dalam suatu percakapan dari hati ke hati, ayah mertua saya mengingatkan agar saya lebih luwes dan fleksibel.
Sekali lagi, saya sangat bersyukur atas kasih dan pemeliharaan Tuhan bagi keluarga kami. Sesekali saya suka bergurau kepada anak-anak, “Saya mau pergi selama 7 hari ya.” Biasanya Priscilla langsung memeluk saya dan berkata, “Tidak boleh. Papa tidak boleh pergi lama-lama. Dua atau tiga hari saja.”
Kadang-kadang saya mencoba melanjutkan gurauan saya, “Kalian kan pengen bisa punya mobil satu lagi. Papa kan harus cari duit lebih banyak lagi supaya bisa beli mobil.” Sambil memeluk saya, Priscilla langsung menyahut, “Ngga! Ngga boleh! Papa ngga boleh pergi lama-lama. Mobilnya biar satu saja.” Adiknya, Timothy Stanley Winarto ikutan memeluk saya.
Timo yang saat ini duduk di bangku taman kanak-kanak nol kecil (TK A) juga senang kalau saya ajak bermain tebak huruf yang saya tuliskan dengan jari di punggungnya. Bagi kami, ini sebuah metoda pembelajaran kreatif yang tidak membebani anak.
Beberapa teman saya pernah bertanya kepada Timo apakah ia sayang kepada papanya? Timo menjawab, sayang. Namun ketika ditanya mengapa kadang-kadang suka ribut, Timo hanya menjawab, “Karena politik.” Suatu pengalaman yang lucu. Mungkin karena dia terlalu sering melihat di televisi para politisi berdebat penuh emosional, bahkan cenderung tidak rasional lagi. Di waktu-waktu lain ia suka memberikan jawaban yang agak berbeda, “Sekarang uda ngga politik lagi ama papa!”
Jika sedang berpergian, istri saya kerap bercerita kalau Timothy sering bertanya, “Mama, papa mana ya?”. Ah, Timo, papa selalu merindukan waktu-waktu berharga bersama kalian. Suatu ketika saya pernah bertanya kepadanya, apa yang paling ia sukai dari saya? “Aku paling suka kalau papa garuk punggungku,” jawabnya polos.
Benar kata psikiater Armand Nicholi, “Waktu itu ibarat oksigen –ada jumlah minimum yang diperlukan demi kelangsungan hidup. Dan dibutuhkan kualitas maupun kuantitas waktu untuk mengembangkan hubungan-hubungan hangat yang penuh kepedulian.”
Betapa sibuknya seorang profesional, jika ia sungguh menganggap waktu bersama keluarga adalah sesuatu yang penting, maka secara sadar ia pasti memprioritaskan waktunya agar ada waktu bersama keluarga dalam agenda atau kalender aktivitasnya.
Coba bayangkan jika suatu hari karena suatu penyakit mematikan, dokter menvonis bahwa hidup Anda tinggal 100 hari lagi. Apa yang mau Anda kerjakan jika Anda diberikan sejumlah pilihan berikut:
1. Bekerja lebih keras.
2. Cari uang lebih banyak.
3. Hura-hura dan menikmati hidup.
4. Menghabiskan waktu bersama orang yang dikasihi.
Jika secara sadar Anda memilih jawaban nomor 4 maka secara tidak langsung terdapat pengakuan bahwa kesuksesan hidup lebih berkaitan dengan orang-orang terdekat daripada harta kekayaan, jabatan, gelar akademis, popularitas dan sebagainya.
Itulah sebabnya John C. Maxwell mengatakan, ”Success is those closest to you love and respect you the most.” “Saya ingin dicintai dan dihormati oleh istri, anak-anak dan cucu saya sebelum saya ingin dihargai oleh siapa pun yang bekerja sama dengan saya. Jangan keliru menangkap maksud saya. Saya juga ingin dihormati oleh orang-orang yang bekerja bersama saya namun tanpa mengorbankan keluarga saya. Jika saya gagal mengelola diri saya di rumah, maka dampak negatifnya akan menyebar ke semua area dalam hidup saya, termasuk pekerjaan. Apa untungnya bagi seorang pemimpin mendaki ke puncak struktur organisasi jika hal tersebut menghancurkan pernikahannya atau membuatnya terasing dari anak-anaknya?” ungkapnya dalam buku berjudul The 360o Leader.
Makna Keluarga
Dalam salah satu program A Minute With Maxwell, John C. Maxwell memberikan pendapatnya tentang keluarga. Berikut kutipannya.
Ketika saya berpikir tentang keluarga, maka saya langsung teringat akan sebuah tempat di mana ada kedamaian dan kenyamanan. Di sanalah terdapat orang-orang yang paling mengenal dan mengasihi Anda. Di keluarga yang terbina dengan baik, di sanalah terdapat sumber kebaikan.
Suatu ketika saya berada dalam sebuah penerbangan dan seorang pria di sebelah saya kemudian berbincang-bincang dengan saya dan bertanya, “Di mana rumah Anda?” Saya langsung menunjuk istri saya, Margareth dan berkata, “That’s home. Ketika saya berada bersamanya, di sanalah kediaman saya. Semuanya baik-baik saja ketika Anda bersama keluarga Anda.”
Hal yang kurang lebih sama juga diungkapkan oleh Dan Benson. Dalam bukunya yang berjudul The Total Man, ia menuliskan pengalaman masa kecilnya, “Mama dan papa membuat rumah kami menjadi sebuah rumah yang penuh kasih sayang, lebih banyak melalui teladan daripada pengajaran. Kami merasa aman sebagai anak-anak karena Papa memimpin dalam membuat suasana rumah tangga kami penuh kasih sayang dan sukacita.”
Ketika menerima hadiah Nobel Perdamaian, Ibu Teresa ditanya, “Apakah yang dapat kita perbuat untuk mempromosikan perdamaian di dunia?” Singkat ia menjawab, “Pulanglah dan kasihilah keluarga Anda.”
Bagaimana menurut Anda? ***
* Best Selling Author, Motivational Teacher and Leadership Trainer. Klik www.pauluswinarto.com.