Oleh: Paulus Winarto*

Tanggal 20 Januari selalu menjadi sesuatu yang istimewa bagi keluarga kami. Istimewa sebab delapan tahun silam atau 20 Januari 2002, saya menikahi istri saya Maria Trifa Ermawati. Tidak terasa kini pernikahan kami telah memasuki usia sewindu.

Banyak pengalaman yang kami lalui bersama. Suka duka kami lewati bersama dengan selalu mengandalkan dan berserah kepada Sang Maha Pengasih. Teringat bagaimana ketika menikah kami hanya mampu mengontrak sebuah kamar di sebuah gang kecil di kawasan Dago Atas. Ukuran kamarnya sekitar 3 x 3,5 m2. Kalau musim hujan suka bocor-bocor. Tapi kami tidak pernah mengeluh. Semua kami jalani dengan penuh rasa syukur.

Begitu pun ketika usia pernikahan kami memasuki tahun ketiga. Saat itu kami belum juga dikarunia anak. Sempat terlintas di pikiran saya untuk mengadopsi anak. Saya sendiri pernah mencari informasi tentang aturan mengadopsi anak. Ada rencana untuk membicarakan niat ini dengan istri pada saat yang tepat. Namun sebelum niat itu terlaksana, kami mengalami mukjizat.

Suatu ketika, kami hadir dalam sebuah KKR (Kebaktian Kebangunan Rohani). Saat itu kami didoakan oleh seorang hamba Tuhan agar bisa memiliki anak. Doa kami terkabul. Di usia perkawinan yang menjelang 4 tahun, anak pertama kami lahir (Priscilla Natali Winarto). Priscilla sungguh merupakan anak mukijzat bagi keluarga kami. Bagaimana tidak? Berbagai macam ujian pernah dialaminya di awal usianya. Mulai dari pneunomia hingga operasi jantung saat usianya baru 41 hari. Priscilla lahir prematur (8 bulan) dengan berat hanya 1,6 kilogram dan pada saat operasi jantung itu, beratnya baru 2,1 kilogram.

Hampir dua setengah tahun kemudian, anak kedua kami lahir (Timothy Stanley Winarto). Akhirnya kami diberikan sepasang anak (perempuan dan laki). Tuhan memang membuat semuanya indah pada waktu-Nya.

Tahun 2008 lalu, istri saya sempat hamil lagi namun ketika kandungan berusia 2 bulan akhirnya dikatahui bahwa kandungan kosong alias tanpa janin (blighted ovum). Hal ini membuat kami semakin menyadari kemahakuasaan Tuhan. Kalau Dia berkehendak memberi, Dia akan memberi pada waktu-Nya. Namun jika tidak, kita sebagai makhluk ciptaan-Nya tidak sepantasnya memaksa, apalagi marah.

Tanpa ragu-ragu saya mengakui bahwa istri saya adalah motivator bagi saya. Saya mengenalnya sejak masih duduk di bangku SMA. Pertama kali bertemu, saat saya dirawat di Rumah Sakit Borromeus Bandung akibat infeksi tulang belakang. Dia sungguh teruji mengasihi saya. Dia tetap bersama saya sejak saya masih miskin dan susah. Dia wanita yang tidak menuntut ini-itu.

Beberapa waktu lalu saya pernah berujar kepadanya, “Jika saya reinkarnasi itu ada dan saya diperkenankan oleh Sang Pemberi Hidup untuk memilih pasangan hidup saya pada kehidupan berikutnya, tentu saya akan memilih kamu.” Dia cuma tersenyum ketika hal itu saya sampaikan namun setidaknya saya yakin dia tahu isi hati saya dari ungkapan sederhana itu.

Pernikahan kami bukanlah pernikahan tanpa konflik. Terkadang kami bertengkar karena hal-hal kecil yang kemudian kami sesali. Istri saya yang lebih sering mengalah. “Kalau ngga ada yang mau mengalah semuanya akan jadi sulit,” katanya.

Pengalaman sebagai anak broken home makin menyadarkan saya betapa pentingnya menjaga keharmonisan pernikahan. Saya sangat setuju dengan pernyataan Phil Passon bahwa pernikahan yang berhasil adalah pernikahan yang bisa melalui krisis demi krisis dengan tingkat komitmen yang semakin bertumbuh (a successful mariage is one that can go from crisis to crisis with a growth in commitment).

Di ujung kehidupan ini, saya ingin sekali mendengar istri saya bisa berkata bahwa saya adalah suami yang baik dan anak-anak saya bisa berujar bahwa saya adalah ayah yang baik. Kerinduan hati yang terdalam inilah yang membuat saya terus berjuang dan berdoa agar dapat menjadi yang terbaik bagi keluarga. Mengutip yang dikatakan oleh lagu sinetron Keluarga Cemara: harta yang paling berharga adalah keluarga. Ya, buat apa orang memiliki semuanya namun ia kehilangan rasa sayang dan hormat dari orang-orang yang paling dekat dengannya?

Akhirnya, ijinkan hati ini mengungkap rasa syukur yang tidak terhingga:

Terima kasih Tuhan untuk segala kasih dan kebaikan-Mu yang boleh kami rasakan sebagai keluarga. Peliharalah kami selalu dengan kasih sayang-Mu. Berikanlah kami selalu perkenanan dan kasih karunia-Mu agar keluarga kami boleh menjadi teladan dan inspirasi bagi banyak orang. Jadikanlah keluarga kami yang sederhana ini saluran kasih-Mu bagi sesama yang membutuhkan kami. Amin.

*author, trainer and teacher. Beralamat di www.pauluswinarto.com