Oleh: Paulus Winarto *

paulus winarto

A Life isn’t significant except for its impact on others lives.

– Jackie Robinson

Lama setelah Anda meninggalkan kampus, Anda akan melupakan semua yang pernah diajarkan oleh dosen Anda namun bagaimana mereka mengasihi Anda, itu tidak akan pernah terlupakan. Ungkapan itu rasanya pas sekali jika saya mengingat bagaimana kebaikan dosen pembimbing saya di Jurusan Teknik Kimia, Universitas Katolik Parahyangan Bandung (Unpar), yang bernama Prof. Dr. Ir.  Ign. Suharto, APU.

Meski hingga tulisan ini dibuat saya belum juga mengambil ijazah sarjana teknik kimia namun hampir bisa dipastikan tanpa motivasi dan kepedulian Pa Harto –begitu biasanya sang profesor disapa, barangkali saya sudah drop out (DO).

Saya memang bukan termasuk mahasiswa dengan prestasi akademik sangat cemerlang. Yudisium saya hanya masuk kategori memuaskan. Bahkan, saya adalah mahasiswa yang lulus terakhir di kelas saya. Ssssst, saya menyelesaikan studi strata satu saya selama 7 tahun dan saya pun tidak mengikuti ucapara wisuda sarjana.

Ada alasan kuat mengenai nyaris DO-nya saya. Semenjak tingkat tiga, saya telah menjadi jurnalis profesional. Dunia jurnalistik rupanya sungguh memikat hati saya. Dimulai sebagai wartawan majalah kampus, saya kemudian mendapatkan kesempatan magang di sebuah majalah berita mingguan besar di negeri ini (GATRA).

Selepas magang itu, saya sempat berkarir sebagai reporter radio sebelum kemudian kembali ke majalah. Yang membuat profesi ini terlalu sayang untuk ditinggalkan adalah terjadinya gejolak politik di tanah air pada tahun 1997 – 1998. Bisa dibilang saya ini termasuk saksi sejarah keruntuhan rezim pemerintah Orde Baru. Meliput berbagai demonstrasi menjadi bagian rutinitas saya saat itu. Alhasil, saya pun mengambil cuti kuliah beberapa semester.

Keasyikan menjalani profesi jurnalis ditambah penghasilannya yang terbilang bagus alhasil membuat saya menjadi malas untuk kembali ke kampus  menyelesaikan kuliah. Sebagai dosen pembimbing, Pa Harto-lah yang mendorong saya. Berkali-kali beliau menitipkan pesan lewat teman-teman sekelas agar saya menghubungi beliau.

Penelitian yang tidak kunjung selesai membuat saya kemudian ditinggalkan teman satu kelompok tugas akhir saya. Sesuai aturan kampus, saya pun diharuskan mengambil penelitian dengan judul yang baru.

Berkat kemurahan hati Pa Harto, saya pun diberikan penelitian yang bersifat “kering” (lebih banyak menggunakan simulasi komputer) sehingga saya tidak perlu masuk laboratorium.  Saya masih ingat betul bagaimana beliau “memaksa” saya agar mencetak executive summary penelitian saya di ruangan beliau yang saat itu masih menjabat Dekan Fakultas Teknologi Industri (FTI). Sesekali beliau tampak menyindir saya, “Nulis karya ilmiah kok kayak nulis berita!” Yang membuat saya kemudian makin terharu adalah beliau ikut mengetik beberapa bagian tugas akhir saya.

Kebaikan Pa Harto kepada para mahasiswa yang nyaris DO memang teruji. Salah satu staf yang lama mendampingi Pa Harto, Murfy Kristiadi, ST memberikan kesaksiannya, “Ketika ada mahasiswa atau mahasiswi yang terhambat kelulusannya, beliau berkomentar, ‘Anak-anak sekolah biar pinter kok di persulit?’. Alhasil banyak mahasiswa atau mahasiswi yang lari minta bimbingan beliau.”

Peristiwa belasan tahun silam itu masih tersimpan indah di hati saya. Secara pribadi ada dua kata kunci penting yang menjadi warisan berharga beliau bagi saya yaitu perhatian (care) dan rendah hati (humble). Beliau selalu berusaha membuka komunikasi dengan para mahasiswanya. Itulah sebabnya saya berani menceritakan rahasia pribadi saya kepada beliau.

Meski telah menjadi guru besar (profesor), beliau tetap rendah hati dan masih terus membaktikan diri untuk pelayanan di gerejanya (Sr. Laurentius Bandung) sebagai prodiakon. Tampaknya ia lebih suka disapa Pa Harto dibandingkan dengan Prof Harto. Suatu ketika, beliau juga pernah curhat tentang beberapa penelitian karya beliau yang tidak dipatenkan atas nama beliau namun disumbangkan bagi kemajuan negeri ini.

Selasa, 28 Februari 2012 lalu saya mendapat kehormatan menghadiri perayaan ulang tahun Pa Harto yang ke-75 di kampus Unpar. Beliau tampak sehat dan rupanya masih aktif mengajar. Ketika bersalaman, pendiri FTI ini tersenyum dan menunjuk saya sambil berujar, “Ini jurnalis hebat!”

Sebuah buku diluncurkan saat peringatan itu. Buku berjudul “Ilmuwan, Profesor dan Wong Cilik” juga memuat banyak kesan positif terhadap profesor yang menyelesaikan program doktornya dari Universitas Gadjah Madah, Yogyakarta (UGM).  Dekan FTI saat ini, Dr. Ir. Paulus Sukapto, MBA, ikut memberikan kesannya,  “Pa Harto secara terus-menerus mendorong para dosen untuk studi lanjut. Beliau mencarikan beasiswa, tempat studi lanjut, dan bentuk lainnya seperti membantu dalam memberikan rekomendasi. Para dosen muda merasa tenang dalam studi lanjut karena beliau selalu mendampingi dan bersedia membantu dalam setiap kesulitan. Dampak dari semua itu, saat ini fakultas (FTI yang didirikannya tahun 1993) telah memiliki 19 doktor dan 7 kandidat doktor. Pelajaran berharga lainnya yang saya peroleh dari beliau adalah selalu menilai setiap orang dari segi positifnya. Pernah ada dosen dan karyawan Unpar yang melakukan kesalahan sehingga merugikan dan membuat warga Unpar kecewa. Ketika saya meminta saran dan komentarnya, saya justru terkejut dan kagum akan jawabannya. ‘Walaupun dia salah tapi jasanya sangat besar terhadap Unpar,’ katanya.”

Andy Chandra, ST, MM, selaku mahasiswa Teknik Kimia angkatan pertama yang kemudian menjadi dosen di jurusan yang sama, memberikan kesannya, “ Beliau tidak perlu berbicara banyak, teladan beliaulah yang mengajarkan kita bagaimana menjalani hidup yang baik.  Beliau tidak pernah berhenti mendorong para dosen muda untuk studi lanjut sebagai bagian proses regenerasi. Kepada dosen yang akan berangkat studi lanjut, beliau menyatakan bahwa beliau siap untuk jaga gawang. Beliau juga berpesan, kembalilah untuk mengabdi kepada FTI Unpar.”

Masih teringat jelas di benak Andy ketika tahun 2010, saat sang istri profesor (Ibu Christina Nani Sri Rasmuljani) berpulang, “Kepergiaan Ibu Nani membuat kami bersedih, sama seperti yang Pa Harto rasakan. Namun kami menjadi tegar kembali manakala melihat Pa Harto menerima dan berserah diri kepada Tuhan. Ketegaran beliau, kenangan beliau akan Ibu Nani, harapan akan perjumpaannya kembali kelak di surga, hal-hal tersebutlah yang membuat kami pun belajar tentang kehidupan dan memberi pandangan baru dalam menghadapi kematian.”

Terima kasih Pa Harto atas segalanya. Warisan berharga dari Bapak senantiasa akan menjadi bagian indah perjalanan hidup saya. Tuhan senantiasa memberkati Bapak dan keluarga. ***

* Best Selling Author, Motivational Teacher and Leadership Trainer. Klik www.pauluswinarto.com.