Catatan Natal 2009

 

Gembala adalah simbol dari orang-orang kecil yang tinggal di padang. Sebagian dari mereka adalah pekerja upahan sebagaimana layaknya buruh tani di negeri kita. Ternak yang mereka gembalakan umumnya bukan milik mereka atau milik sang majikan. Mereka terbiasa tidur dengan domba-domba sambil menjaga domba-domba tersebut. Mereka kerap harus bertarung dengan binatang buas yang mengintai dan siap memangsa domba-domba tersebut. Mereka juga harus mencari padang berumput hijau demi memberi makan domba-dombanya. Hidup mereka jauh dari hiruk-pikuk dan kemewahan dunia!

Tatkala malaikat Tuhan menampakkan diri kepada mereka, mereka sangat ketakutan. Dengan mata kepala mereka melihat kemuliaan Tuhan bersinar meliputi mereka. Terbayang oleh saya, mungkin ada bermacam-macam perasaaan yang timbul dalam hati mereka. Mungkin mereka bertanya-tanya, “Ada apa gerangan?”

Semua pertanyaan itu sirna dan mulai muncul sukacita ketika malaikat berkata, “Jangan takut, sebab sesungguhnya aku memberitakan kepadamu kesukaan besar untuk seluruh bangsa. Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat di Kota Daud.” Ini tentu sebuah kabar sukacita sebab telah lama bangsa Israel mengharapkan hadirnya Juruselamat. Bisa jadi pada saat itu ada perasaan bangga di hati para gembala ini. Bisa jadi para gembala ini seakan merasa VIP (very important person) di mata Tuhan. Bukankah berita kelahiran anak kita biasanya akan diberitahukan kepada orang-orang yang dianggap VIP oleh kita?

Yang lebih luar biasa lagi, malaikat kemudian memberitahukan kepada para gembala itu di mana mereka bisa menjumpai Sang Juruselamat, “Dan inilah tandanya bagimu: Kamu akan menjumpai seorang bayi dibungkus dengan lampin dan terbaring di dalam palungan.”

Kekaguman para gembala itu terus bertambah manakala mereka menyaksikan malaikat dan bala tentara Sorga memuji Allah, “Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya.”

Setelah menyaksikan semua itu, para gembala tidak diam. Mereka merespon apa yang dikatakan malaikat dan berangkat ke Betlehem menemui Sang Juruselamat. Tidak terbayangkan betapa bersukacitanya mereka ketika mereka berhasil menemui Maria, Yusuf dan Yesus di palungan. Tidak lupa mereka berbagi cerita tentang apa yang baru saja terjadi kepada mereka.

Kabar sukacita ini terus berlanjut. Para gembala yang telah mengalami perjumpaan pribadi dengan Sang Juruselamat terus mewartakan apa yang telah mereka lihat dan alami sambil memuji dan memuliakan Tuhan.

Refleksi Natal

Ada beberapa hal yang bisa saya pelajari dari cerita tentang apa yang terjadi dan dialami oleh para gembala tersebut.

Pertama, dalam hidup ini kerap kali kita merasa seperti para gembala tersebut. Tersisihkan oleh kondisi lingkungan atau status sosial ekonomi atau mungkin masa lalu yang kelam. Rasa bersalah akibat perbuatan buruk di masa lalu yang terus menghantui membuat kita merasa diri begitu hina dan tidak pantas. Perasaan itu juga membuat kita sulit mengalami perjumpaan pribadi dengan Sang Juruselamat. Dari para gembala ini kita seharusnya belajar bahwa kaum kecil yang terkadang dipandang sebelah mata oleh dunia tetaplah penting di mata Tuhan.

Mother Teresa pernah berkata, “Di surga segala sesuatu begitu indah tetapi apa yang menarik Yesus datang ke dunia? Putra Allah ingin mengalami bagaimana rasanya menjadi seorang manusia: terkungkung selama sembilan bulan, begitu tergantung kepada seorang Ibu. Itu sebabnya kita mengatakan, Dia yang kaya telah menjadi miskin.”

Kedua, pada saat tertentu kita akan mengalami momen penting atau yang saya sebut sebagai momen Ilahi. Dalam kisah di malam kudus, para gembala bertemu muka dengan malaikat. Dalam hidup sehari-hari, momen Ilahi ini bisa berupa beragam peristiwa yang menyentuh hati kita. Misalnya, diselamatkan dari musibah tertentu, mendapatkan pertolongan dari orang yang sama sekali tidak kita duga atau harapkan, hati yang tertegun atau tersentuh ketika melihat sebuah peristiwa yang begitu dramatis (atau ketika merenungkan Firman Tuhan), mendapatkan pencerahan atau teguran penuh kasih dari orang-orang yang sungguh mengasihi kita, hubungan yang dipulihkan setelah mengalami kerusakan hebat begitu lama, dan sebagainya.

Momen-momen seperti ini kerap berlalu begitu saja tanpa makna karena ego, kekerasan hati kita atau kita menganggapnya sebagai hal yang biasa-biasa saja. Hanya dengan ketekunan dibalut kerinduan mendalam untuk terus mencari-Nya, kita akan semakin peka terhadap momen-momen seperti ini.

Ketiga, respon yang positif terhadap kehendak Ilahi. Para gembala yang menerima kabar sukacita tidak tinggal diam. Mereka bergerak dan pergi menemui sang Juruselamat.

Banyak orang dapat hidup ini yang mengalami momen Ilahi namun tidak mengalami perubahan hidup karena pada dasarnya mereka enggan berubah. Mereka masih betah alias mencintai pola hidup yang lama. Alhasil dari waktu ke waktu hidupnya hanya begitu-begitu saja. Hati yang tersentuh manakala mengalami perjumpaan pribadi dengan Tuhan seharusnya menjadi momentum untuk membawa kita semakin dekat dengan Tuhan dalam hidup di hari-hari selanjutnya.

Keempat, para gembala kemudian menjadi saksi dan berbagi sukacita yang telah mereka terima. Saya yakin, ketika para gembala melihat Sang Juruselamat sukacita mereka memuncak. Tetapi sukacita itu bukan untuk dinikmati sendiri. Para gembala kemudian menjadi saksi. Mereka memuji dan memuliakan Allah karena segala sesuatu yang mereka dengar dan mereka lihat

Pribadi yang telah mengalami kasih Tuhan juga diharapkan untuk mampu meneladani gembala tersebut. Kasih dianugerahkan tidak untuk disimpan atau disembunyikan. Kasih untuk dibagikan. Sebuah lilin tidak akan pernah kehilangan cahayanya ketika ia mau berbagi dengan lilin lainnya. Orang sering mengatakan kalau kita diberkati untuk memberkati.

Bagaimana dengan Anda dan saya?

Selamat Natal. Tuhan memberkati selalu.

* Motivational Teacher dan Penulis Buku. Beralamat di www.pauluswinarto.com.