Oleh: Paulus Winarto*
Natal tahun 2009 ini membawa hati dan pikiran ini sejenak berefleksi membayangkan malam pada saat Sang Juru Selamat lahir. Ada begitu banyak hal yang bisa kita refleksikan dari apa yang terjadi di malam kudus itu seperti yang tertulis dalam Lukas 2:1-20.
Kali ini saya ingin sedikit membagikan apa yang terlintas di benak saya, yaitu tentang kaum kecil yang mendapatkan kabar sukacita di malam itu. Kaum kecil itu adalah para gembala di padang. Ya, para gembala.
KEBETULAN YANG BUKAN KEBETULAN
Adakah yang namanya kebetulan di dunia ini? Jawabannya bisa sangat bervariasi dan berbeda-beda antara satu orang dengan orang lainnya. Semuanya tergantung cara pandang. Namun bagi orang-orang yang pernah memiliki momen-momen spiritual berkesan –terutama pertarungan antara hidup dan mati- biasanya akan mulai berpendapat bahwa tidak ada yang kebetulan dalam hidup ini.
Saya sendiri termasuk orang yang menyakini bahwa ada Kekuatan Maha Besar yang mengatur alam semesta, bahkan hidup setiap manusia. Sayangnya, ego manusia yang pada akhirnya membuat kita tidak mampu untuk peka atas skenario baik yang sebenarnya telah dirancang bagi hidup kita.
Hidup memang bukan kebetulan! Paling tidak itu yang saya rasakan dalam trip ke Palembang di bulan Oktober 2009 ini. Bersama dengan Chandra Krisma Winata (event management saya), kami berangkat ke Palembang untuk memberikan seminar motivasi di sebuah gereja sekaligus memberikan kuliah tamu di sebuah kampus terkenal di kota Pempek tersebut, STMIK MDP.
Jarak yang sangat dekat antara hotel kami menginap dan kampus, membuat saya dan Chandra pagi itu memutuskan untuk berjalan kaki saja. Pagi itu lalu lintas cukup ramai. Kami kemudian menyebrang hingga lebih dari separuh jalan. Nah, pada saat akan melanjutkan penyeberangan, terus-terang karena kebiasaan lama, saya hanya memperhatikan arah sebaliknya yaitu menoleh ke kiri (karena pikir saya ini kan sudah lebih dari separuh jalan). Terlihat kosong dan cukup aman, saya pun melangkahkan kaki maju namun tiba-tiba motor dari arah kanan nyaris menabrak saya. Rupanya ia memilih jalur kanan, bukan kiri atau di belakang kami.
Chandra dengan sigap menarik saya dan amat terasa hembusan angin dari motor yang nyaris menabrak saya itu. Sang ibu yang mengemudikan motor tersebut juga tampak terkejut. Bagi saya inilah momen Tuhan. Ucapan syukur tak henti-hentinya keluar dari hati dan mulut ini bahkan hingga catatan ini saya buat.
Cerita ini kemudian saya bagikan kepada keluarga maupun teman-teman saya, baik dalam bentuk lisan maupun lewat situs jejaring sosial seperti facebook. Beragam komentar pun muncul. Misalnya, Tuhan begitu mengasihimu. Ia punya rencana yang lebih lagi bagi hidupmu.
Seorang sahabat pernah berkata, “Kita seharusnya melihat berbagai peristiwa-peristiwa dalam hidup ini sebagai kumpulan mukjizat-mukjizat atau kita akan membiarkan semuanya berlalu begitu saja dan menganggapnya sebagai sesuatu yang wajar.”
Sekarang, semua terpulang pada kita masing-masing. Mau menganggap berbagai kejadian dalam hidup ini sebagai biasa-biasa saja atau luar biasa? Yang pasti jika hidup dipandang sebagai sebuah anugerah sekaligus mukjizat Ilahi, hidup akan terasa makin bermakna. Bagaimana menurut Anda? ***
Sumber: www.pauluswinarto.com