Kesadaran bahwa saya ini amat sangat kecil dan tak berarti dibanding alam semesta diperkuat melalui peristiwa perjumpaan saya dengan Dr. Moedji Raharto, Kepala Observatorium Boscha ITB di Lembang, Bandung. Suatu ketika saya pernah mewawancarai beliau soal Badai Meteor Leonid. Beliau mengajak saya jalan – jalan mengelilingi observatorium dan mencoba teleskop. “Alam semesta begitu luas. Maha Agung Tuhan. Apalah artinya kita manusia ini dibandingkan alam semesta. Hanya kesombonganlah yang membuat kita besar kepala,” nasihat Pak Moedji.

Menyadari diri kecil dan selalu butuh Tuhan, saya suka menengadah ke langit di waktu tengah malam. Melihat langit yang amat luas itu, saya terkadang merasa diri amat kecil, amat hina. Dan makin kecil pula diri ini manakala melihat begitu banyak bintang bertaburan di langit. Bukankah matahari hanya salah satu bintang? Konon, di luar sana ada lebih dari seratus juta galaksi.

Terkadang, sambil menengadah, saya bernyanyi dalam hati sebuah lagu yang sering dinyanyikan saat kita kanak – kanak:

Bintang kecil di langit yang biru

Amat banyak menghias angkasa

Aku ingin terbang dan menari

Jauh tinggi, ke tempat kau berada

Sambil menengadah saya pun berdoa dalam hati, Oh, Tuhan, terima kasih karena Engkau masih sudi mendengarkan doa – doa anak-Mu ini. Maha Besar Engkau, ya Tuhanku. Terima kasih karena masih berkenan memberikan napas kehidupan.

 

Dan, setelah mengucapkan doa tadi, ada kedamaian di hati. Saya merasa Ia sedang tersenyum memandang saya yang tengah menikmati kesunyian malam itu. Ia menyapa saya di keheningan malam itu. Ia menyapa saya secara amat pribadi dan tak seorang pun tahu kecuali Anda yang sedang membaca buku ini. Silence brings peace. Thanks to God.

Dikutip dari buku KETIKA IA MENYAPAKU, Paulus Winarto, Obor. Informasi lebih lanjut, klik www.pauluswinarto.com