Oleh: Paulus Winarto *
Your single most powerful asset –regardless of your level of talent- is the example you set for the people who follow you.
– John C. Maxwell
“Apakah sebagai seorang pembicara Anda harus terus belajar?” begitu pertanyaan salah seorang peserta seminar kepada saya di sela-sela sesi yang saya bawakan. Tanpa ragu-ragu saya menjawab, “Tentu saja. Makanya kalau tidak hobi belajar, sebagai pembicara kita pasti ketinggalan informasi. Salah satu wujud nyata adalah sering membaca buku. Belajar, termasuk membaca buku, sebaiknya menjadi gaya hidup bagi seorang pembicara. Namun bukan itu yang terpenting!”
Penuh rasa penasaran, kembali ia bertanya, “Terus apa yang terpenting?” Dengan tegas saya menjawab, “Menjadi teladan dari apa yang diajarkan!” Ya, menjadi teladan alias bukti hidup dari hal-hal yang diajarkan. Kedengarannya sederhana tapi memiliki arti yang sangat dalam.
Selain menjadi pembicara seminar dan penulis belasan buku, saya juga menjadi dosen tamu dan dosen luar biasa di beberapa perguruan tinggi dan juga Sespim Polri (Sekolah Staf dan Pimpinan Kepolisian Negara Republik Indonesia) di Lembang, Bandung Barat. Saya kerap mengamati manakala dosen lainnya mengajar. Sesekali saya menangkap adanya wajah kurang simpatik dari peserta didik ketika pelajaran sedang berlangsung. Salah satu alasannya adalah, “Ah, dia mah ngomong doang. Hidupnya jauh dari apa yang diajarkannya.”
Secara pribadi, saya sendiri awalnya tidak memiliki cita-cita untuk menjadi pembicara dan dosen. Semua sepertinya berjalan sangat natural. Semenjak buku pertama yang saya tulis (tahun 2002) menjadi best seller, saya sering mendapat undangan berbicara di mana-mana.
Kala mulai terjun menjadi pembicara, saya pernah mendapatkan sebuah nasihat: jangan pernah mengajarkan orang lain hal tidak kamu lakukan. Saya kemudian merenungkan nasihat ini. Ternyata tidak seluruhnya benar. Dengan kata lain, haruskah selalu kita melakukan terlebih dahulu baru mengajarkannya kepada orang lain? Tentu tidak! Apakah saya harus berselingkuh dulu baru kemudian mengajarkan orang lain dampak negatif dari berselingkuh.
Seiring perjalanan waktu, saya kemudian berprinsip: jangan mengajarkan orang lain sesuatu yang bukan menjadi bagian hidup saya (entah itu berupa prinsip atau nilai hidup). Apa kata dunia jika seorang pembicara mengajarkan orang lain tentang sukses meraih prestasi akademik sedangkan dia sendiri drop out lantaran nilai akademik yang buruk? Atau, pembicara motivasional yang mengajarkan peserta seminar tentang keseimbangan hidup serta menjadikan keluarga prioritas terpenting, sedangkan ia sendiri bercerai atau tidur sekamar dengan asisten pribadinya (beda jenis kelamin) saat dinas luar kota . Atau, seorang pejabat yang berkoar-koar tentang birokrasi yang bersih dan bebas KKN, sementara ia sendiri pernah terjerat kasus korupsi atau setidaknya pernah menerima uang sogokan.
Mau diakui atau tidak, audiens terlebih dahulu mempercayai (buy in) pembicara sebelum ia secara sadar atau tidak sadar mempercayai (atau menerima) pesan yang disampaikan. Pesan-pesan yang disampaikan hanya karena faktor karismatik pembicara atau pengemasan yang bagus, padahal hidup pembicara bertolak belakang dari apa yang diajarkan, sering kali hanya menimbulkan kekaguman sesaat (kesan positif) hingga suatu ketika sang penerima pesan mengetahui keadaan sebenarnya. Sejak saat itu, bisa jadi apa pun pesan yang disampaikan akan sulit sekali diterima, kecuali jika ia menggunakan prinsip “ikuti apa yang diajarkan namun jangan ikuti kelakuannya”.
MENJADI GURU
Menjadi pembicara di satu sisi ibarat menjadi guru. Dalam bahasa Sansekerta, kata guru memiliki makna seseorang yang penuh dengan pengetahuan dan kebijaksanaan. Kata guru sendiri berasal dari dua suku kata yaitu gu yang artinya kegelapan dan ru yang artinya terang. Jadi guru adalah orang yang membawa orang lain dari kegelapan menuju terang.
Bertolak dari definisi itu, saya semakin menyadari betapa mulianya profesi guru. Saya bahkan berani mengatakan guru bukan hanya profesi tapi panggilan hidup. Akan sangat berbeda jika seseorang menekuni seorang pekerjaan karena tuntutan profesi dan jika seseorang menekuni pekerjaan karena panggilan hidup.
Sejatinya guru memiliki sebuah terang dalam dirinya yang kemudian dibagikannya kepada para murid. Terang itu bisa pengetahuan, pengalaman, kebijaksanaan hingga nilai-nilai kehidupan. Dengan demikian dalam proses pembelajaran tidak hanya terjadi transfer ilmu dan pengetahuan namun transformasi hidup. Betapa mulia peran dan tugas seorang guru!
Albert Schweitzer benar ketika ia berkata, teladan bukan hanya hal utama dalam mempengaruhi orang lain. Teladan adalah satu-satunya hal terpenting dalam mempengaruhi orang lain (example is not the main thing in influencing others. It is the only thing). Guru yang sanggup menjadi teladan ibarat guru yang menginvestasikan hidupnya dalam diri para murid, meski ia sendiri barangkali tidak menyadarinya. Hal ini saya pelajari langsung dari papa angkat saya yang adalah seorang guru. Ia dikenal sebagai sosok yang peduli namun tegas pada prinsip. Nilai-nilai hidupnya telah menjadi bagian dari hidup saya.
Di sisi lain ada juga pendapat “tidak ada manusia sempurna”, begitu pun guru. Guru bisa saja berbuat salah namun guru yang baik seharusnya bisa belajar dari kesalahan, mengakuinya dan tidak mengulanginya di kemudian hari. Inilah salah satu cara mengembalikan kepercayaan.
THE POWER OF MODELING
Dalam bukunya, The 21 Most Powerful Minutes in A Leader’s Day, John C. Maxwell menulis bahwa kita hidup dalam budaya yang mengatakan jangan menilai kehidupan profesional seseorang berdasarkan kehidupan pribadinya, namun ini adalah asumsi yang keliru, apalagi Anda seorang pemimpin. Apa yang dilakukan pemimpin selalu berdampak pada apa yang dilakukan pengikut. Tanpa bosan, Maxwell selalu mengingatkan, “Remember, people do what people see!”. Hal ini sesuai dengan pepatah dalam bahasa Indonesia, guru kencing berdiri murid kencing berlari.
Menurut Maxwell, jika Anda seorang pemimpin maka apa yang Anda lakukan dan siapa diri Anda adalah hal yang penting. Alasannya:
1. Para pengikut akan selalu memperhatikan apa yang Anda lakukan.
2. Lebih mudah mengajarkan apa yang benar daripada melakukan apa yang benar.
3. Kita harus berusaha keras mengubah diri sendiri sebelum mencoba mengubah orang lain.
4. Hadiah paling berharga yang dapat diberikan seorang pemimpin adalah menjadi teladan yang baik.
Bagaimana menurut Anda? ***
* Best Selling Author, Motivational Teacher and Leadership Trainer. Klik www.pauluswinarto.com.